Jakarta, 15 November 2023 - Pemerintah Indonesia telah menegaskan bahwa perubahan iklim (climate change) sebagai salah satu fokus dalam pembangunan nasional. Hal ini tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020 - 2024. Pengendalian perubahan iklim menjadi prioritas nasional keenam (ke-6), yaitu program peningkatan kualitas lingkungan, peningkatan ketahanan bencana dan perubahan iklim, serta pembangunan rendah karbon.
Menanggapi krisis iklim global, Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati, menjelaskan terkait krisis iklim global dan pentingnya upaya adaptasi dan mitigasi, ada tiga pilar yang saling terkoneksi antara policy, services, dan science. Science merupakan hal yang sangat penting untuk pengembangan (knowledge innovation) sejalan dengan perkembangan fenomena atau perkembangan tantangan fenomena iklim yang terjadi seperti saat ini.
"Untuk mengeksekusi science, science ini harus diintegrasikan dengan policy (kebijakan) yang akhirnya eksekutornya adalah di services", kata Dwikorita pada Seminar Nasional yang diselenggarakan Yayasan Perspektif Baru (YPB) didukung oleh Konrad Adenauer Stiftung (KAS) bersama Universitas Tanjungpura dan Universitas Sumatera Utara.
Lebih lanjut, evolusi iklim 2023 berpeluang besar akan menjadi tahun terpanas sepanjang sejarah pencatatan iklim, mengalahkan saat terjadi El Nino kuat di tahun 2016. Organisasi Meteorologi Dunia berdasarkan data BMKG di seluruh dunia, menyimpulkan potensi terjadinya global water hotspot. Dampak dari kenaikan suhu global juga memicu kekhawatiran terkait potensi kekeringan di berbagai belahan dunia, termasuk Amerika Utara dan Selatan, Afrika, Eropa, Asia, dan Australia.
"Indonesia relatif aman karena kondisi alam sangat lembab, juga dikelilingi oleh samudera yang lebih luas dari daratannya. Namun harus diwaspadai, gaya hidup kita itu akan berdampak kekeringan secara lokal yang mengakibatkan terganggu ketahanan pangan di pertengahan abad ini (abad 21) atau di sekitar tahun 2050 terjadi peningkatan kerentanan pada stok pangan dunia", ujar Dwikorita.
Dwikorita menambahkan, melalui literasi iklim terutama melibatkan generasi muda, generasi Z, generasi milenial, lintas kelompok serta sekolah lapang iklim untuk para petani nelayan dan berbagai pihak terkait untuk mengembangkan rekayasa sosial untuk memastikan efektivitas informasi yang disebarkan berdampak pada masyarakat agar masyarakat mampu melakukan early action atau respon yang tepat dari peringatan dini.