ISPRA, ITALIA (7 Oktober 2022) - Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati membeberkan berbagai upaya mitigasi yang dilakukan Indonesia dalam upaya mencapai zero victims pada event JRC/DG-ECHO/UNESCO-IOC Joint Hybrid Workshop on Local Tsunami Warning in the Context of Multi-Hazard Disaster Rosk Mitigation in the NEAM Region di Kantor Joint Research Center (JRC) Ispra Italia, sebuah Lembaga Kerjasama Riset Eropa, Rabu (5/10).
Dwikorita menyebut tantangan mitigasi gempabumi dan tsunami di Indonesia sangat kompleks. Kompleksitas tersebut, kata dia, bukan hanya soal fenomena tsunami itu sendiri, namun juga kondisi sosial, ekonomi, bahkan politik yang acap kali berakibat pada tidak tercapainya keberlanjutan (suistainabilitas) upaya mitigasi yang telah dilakukan.
"Salah satu tantangan yang menurut saya cukup berat adalah memastikan upaya mitigasi yang sudah dirancang dan diskenariokan terus berlanjut. Hal ini tentu saja butuh konsistensi para pemangku kepentingan dari level pusat hingga daerah," ungkapnya.
Menurut Dwikorita, mitigasi yang dilakukan selayaknya tidak hanya berkutat pada inovasi teknologi dengan target kecepatan, ketepatan, dan keakuratan. Namun, lanjut dia, juga harus berinovasi pada aspek sosial demi menjamin keberlangsungan aksi mitigasi tersebut.
Dwikorita menyampaikan, bahwa dari serangkaian pengalaman yang penah dihadapinya, seringkali upaya mitigasi yang dilakukan tidak berakhir menjadi success story pada saat tsunami terjadi. Upaya mitigasi yang pernah diskenariokan, justru seperti dimulai lagi dari nol karena tidak adanya keberlanjutan dari upaya yang telah dilakukan sebelumnya
"Poin pentingnya adalah keberlajutan (sustainable), tidak boleh putus di tengah jalan. Termasuk kebijakan dan strategi pembangunan harus lebih akomodatif terhadap mitigasi bencana, mulai dari konstruksi fisik bangunan, hingga perencanaan tata ruang yang berdimensi mitigasi bencana," imbuhnya.
Dalam kesempatan tersebut, Dwikorita juga menyampaikan bahwa kolaborasi, sinergi dan koneksitas menjadi kunci utama dalam melakukan aksi mitigasi, menghadapi ancaman gempabumi dan tsunami yang semakin kompleks. BMKG sendiri, tambah Dwikorita membentuk konsorsium konsorsium Gempabumi dan Tsunami Indonesia (KGTI) guna memperkuat sistem peringatan dini tsunami. Konsorsium tersebut sebagai media kolaborasi, sinergi dan koneksitas antar para pakar dan peneliti gempabumi dan tsunami dari berbagai Kementerian/Lembaga terkait, perguruan tinggi dan praktisi kebencanaan dengan BMKG.
Lebih lanjut, Dwikorita mengatakan bahwa pembentukan konsorsium ini akan semakin memperkuat BMKG lantaran peran-peran strategis yang diemban konsorsium. Mulai dari memberikan masukan dalam penyusunan pengembangan dalam bidang gempabumi, strategi monitoring, pengolahan, analisis data, modelling, diseminasi, emerging teknologi, dan pengembangan aplikasi, untuk mendukung terwujudnya infrastruktur bangunan tahan gempa.
Selanjutnya, memberikan masukan dalam penyusunan rencana kerja bidang tsunami, program jangka pendek dan menengah, dalam strategi dan kebijakan pengamatan tsunami, pengolahan dan analisis data tsunami, modelling, diseminasi, layanan peringatan dini tsunami, dan seterusnya.
Dwikorita juga menambahkan, dalam konteks inovasi sosial, BMKG memiliki target tercapainya 500 doktor atau 10% dari total pegawai BMKG sebelum tahun 2030. Ambisi peningkatan kapasitas ini menjadi penting untuk meningkatkan kemampuan analisis saat melakukan monitoring dan analisis gempabumi dan tsunami, sehingga dapat menghasilkan produk yang lebih akurat dan berkualitas (*)
Biro Hukum dan Organisasi
Bagian Hubungan Masyarakat
Instagram : @infoBMKG
Twitter : @infoBMKG @InfoHumasBMKG
Facebook : InfoBMKG
Youtube : infoBMKG
Tiktok : infoBMKG