Jakarta, 30 Mei 2024 - Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menjadi salah satu panelis dalam forum World Summit on the Information Society (WSIS)+20 yang digelar secara daring dengan tema "Twenty Years After The Tsunami 2004: How Knowledge Transfer Could Improve Safety In Countries at Risk". Acara ini berlangsung di Jenewa dan dihadiri oleh beberapa pakar Internasional, Kamis (30/05).
Dalam paparannya, Dwikorita mengungkapkan bahwa 20 tahun yang lalu belum ada sistem peringatan dini tsunami yang terintegrasi di Samudera Hindia. "Setelah bencana tsunami melanda dunia mulai dari Aceh, kami mulai mengembangkan sistem peringatan dini tsunami yang terintegrasi dengan dukungan para ahli internasional dan negara-negara maju seperti Jerman, Jepang, dan Amerika Serikat," ujarnya.
Dwikorita menjelaskan bahwa sistem peringatan dini tsunami terpadu milik BMKG mulai beroperasi pada tahun 2008, dengan sistem cadangan yang dibangun di Bali pada tahun 2010 untuk memastikan keberlangsungan operasional jika sistem di Jakarta mengalami kendala. Sistem ini didesain untuk memberikan peringatan dini lima menit setelah gempa terjadi, memberikan waktu 25 menit untuk evakuasi sebelum tsunami tiba.
Namun, Dwikorita juga menyebutkan tantangan yang dihadapi saat tsunami Palu terjadi pada tahun 2018. "Tsunami Palu bukan tsunami seismic, melainkan akibat longsor. Sehingga sistem yang ada tidak dapat memberikan peringatan yang tepat waktu. Saat ini kami mengembangkan sistem untuk mengatasi tsunami seismik dan non-seismik, termasuk yang disebabkan oleh longsor bawah laut dan letusan gunung berapi," tambahnya.
Dwikorita menekankan pentingnya kerja sama dengan media dan komunitas lokal untuk memastikan peringatan dini dapat dijangkau, dimengerti, dan ditindaklanjuti oleh masyarakat. "Kami bekerja sama dengan BNPB dan UNESCO melalui program 'Tsunami Ready' untuk memastikan tindakan dini yang efektif," tutupnya.