Road to 10th WWF: Ikhtiar Dunia Mengatasi Krisis Air dan Krisis Iklim

  • Dwi Herlambang Ade Putra
  • 01 Apr 2024
Road to 10th WWF: Ikhtiar Dunia Mengatasi Krisis Air dan Krisis Iklim

Jakarta, 1 April 2024. Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Dwikorita Karnawati menegaskan pertemuan 10th World Water Forum (WWF) merupakan arena untuk berdialog mengatasi kesenjangan terhadap hak atas air di dunia. WWF ke-10 akan diselenggarakan di Nusa Dua, Bali, Indonesia pada 18-24 Mei 2024 mendatang.

"Saat ini kesenjangan hak atas air diperparah dengan dampak perubahan iklim dan menjadikan air sesuatu yang harusnya membuat kita sejahtera justru dapat menjadi bencana seperti kekeringan dan banjir," kata Dwikorita dalam Konferensi Pers FMB9 bertajuk Road to 10th World Water Forum "Kolaborasi Tangguh Atasi Tantangan Perubahan Iklim", Senin (1/4).

Untuk mencegah air menjadi sesuatu yang merugikan maka isu air akan dibahas oleh delegasi dari 172 negara dunia dalam pertemuan internasional terbesar di bidang air. Tujuanya adalah mewujudkan keadilan dalam pemanfaatan penggunaan air secara setara di seluruh negara dunia.

Mengutip laporan World Meteorological Organization (MWO) krisis air di dunia nyata terjadi di tengah-tengah masyarakat. Saat ini pola debit sungai dan aliran masuk waduk sebagian besar lebih kering daripada kondisi normalnya. Juga terjadi peningkatan evapotranspirasi dan penurunan kelembapan tanah selama musim panas yang disebabkan oleh kekeringan.

Sebagai catatan, cuaca ekstrem, iklim, dan peristiwa terkait air menyebabkan 11.778 bencana yang dilaporkan antara tahun 1970-2021. Negara maju mengalami lebih dari 60% kerugian ekonomi akibat cuaca namun sebagian besar di bawah kerugian tersebut nilainya 0,1% Produk Domestik Bruto (PDB).

Sebaliknya, Negara berkembang dan belum maju 7% bencana menyebabkan kerugian lebih dari 5% PDB dan mencapai hingga 30%. Negara kepulauan kecil 20% bencana menyebabkan kerugian lebih dari 5% PDB bahkana da yang melebihi 100%.

"Poinnya adalah bencana yang terjadi di negara maju itu kurang berpengaruh terhada PDB-nya dibandingkan di negara berkembang atau belum maju. Artinya rentan sekali bagi negara berkembang dan belum maju. Ini yang dinamakan ketidakadilan," kata Dwikorita.

Lebih lanjut, dinamika siklus air dan interaksinya dengan masyarakat manusia dapat mengakibatkan dua hal. Pertama, bervariasinya pola spatio-temporal ketersediaan sumber daya air dan kedua, dampak kejadian ekstrem yang berhubungan dengan sumber daya air dapat mempengaruhi kehidupan, pembangunan, dan keberlanjutan ekosistem, masyarakat, dan individu.

"Perubahan iklim memberi tekanan pada sumber daya air sehingga menimbulkan water hotspot," ujarnya.

Proyeksi Food and Agriculture Organization (FAO) pada tahun 2050, mencatat krisis air--akibat perubahan iklim--akan meningkatkan kerentanan pada kawasan penyedia pangan (food basket). Akibatnya, lebih dari 500 juta petani skala kecil yang menghasilkan 80% sumber pangan dunia menjadi kelompok yang paling rentan.

Oleh karenanya, diperlukan mitigasi dan adapatasi secara sistematis terhadap isu-isu terkait air melalui observasi, monitoring, dan pengumpulan data. Data-data tersebut kelak akan dijadikan baseline bagi stakeholder untuk merumuskan kebijakan terkait air. Pun, dapat dijadikan acuan dalam melakukan mitigasi sebelum bencana akan datang.

Kolaborasi Multi-Helix

Namun ketersediaan data yang akurat tentulah tidak mudah. Untuk itu, Dwikorita mengajak pada momen WWF ke-10 mendatang seluruh pihak untuk berkolaborasi bersama membangun kolaborasi multi-helix.

Kolaborasi multi-helix tersebut bertujuan utnuk membangun masyarakat yang tangguh terhadap bencana--di mana kerjasama dan koordinasi dilakukan melalui lintas sektor dan lintas batas. Hal ini tentunya menjadi tantangan bagi semua pihak untuk dapat menyatukan modalitas dan meningkatkan kapasitas.

"Salah satu platform untuk menghimpun sinergi adalah melalui forum dialog internasional dan ini akan kita bangun bersama di Bali dalam World Water Forum ke-10. Tema besarnya adalah Water for Shared Prosperity," jelasnya.

Adapun spirit WWF di bali menurut Dwikorita adalah kolaborasi multi sektor, multi-helix, multi pihak, multi-nation, multi bangsa-bangsa dalam rangka untuk menghadapi dan mengatasi bersama persoalan global utaanya adalah krisis air dan krisis iklim. Dalam forum tersebut terdapat enam sub tema yang akan dibahas bersama.

Dwikorita meminta keterlibatan pimpinan negara, parlemen, menteri, pemimpin daerah, dan otoritas pengelola air di cekungan-cekungan (basin authorities) untuk menentukan arah demi menyelesaikan masalah yang terjadi berdasarkan data dan kasus di lapangan. Kekuatan politik ini diharapkan dapat mengikat seluruh pihak untuk kerja kolektif menyelesaikan masalah air di dunia.

"Dan diharapkan ada opsi lanjutan yaitu deklarasi para menteri untuk mewujudkan kesejahteraan air untuk bersama serta ditargetkan adanya centre of excellence on water and climate resilience," pungkas Dwikorita.

Gempabumi Terkini

  • 12 Oktober 2024, 08:37:40 WIB
  • 4.9
  • 58 km
  • 4.60 LS - 101.89 BT
  • Pusat gempa berada di laut 92 km barat laut Enggano
  • Dirasakan (Skala MMI): III Enggano, II - III Kota Bengkulu
  • Selengkapnya →
  • Pusat gempa berada di laut 92 km barat laut Enggano
  • Dirasakan (Skala MMI): III Enggano, II - III Kota Bengkulu
  • Selengkapnya →

Siaran Pers