2023 Berpotensi Menjadi Tahun Terpanas, Mitigasi Perubahan Iklim Harus Dimasifkan

  • Dwi Herlambang Ade Putra
  • 19 Nov 2023
2023 Berpotensi Menjadi Tahun Terpanas, Mitigasi Perubahan Iklim Harus Dimasifkan

Yogyakarta, 19 November 2023. Tidak pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah peradaban manusia, fenomena heatwave terjadi di banyak tempat secara bersamaan. Hal ini adalah fakta nyata bagaimana dampak perubahan iklim telah dirasakan oleh setiap manusia di belahan negara manapun.

Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menyebut tahun 2023 sangat berpotensi menjadi tahun dengan temparatur terpanas sepanjang sejarah. Hal itu dapat dibuktikan dengan suhu permukaan di beberapa tempat di dunia yang mencapai suhu di atas 40°C.

"Sebelumnya rekor tahun terpanas adalah pada 2016 saat terjadi El Nino namun 2023 memecahkan rekor sebagai tahun terpanas," kata Dwikorita dalam acara Seminar Nasional Eco Infrastructure Festival 7th Creation 2023 di Ballroom TILC SV Universitas Gadjah Mada (UGM), Minggu (19/11).

Berdasarkan data yang dihimpun dari World Meteorological Organization (WMO), Juli 2023 menjadi bulan terpanas sepanjang sejarah. Sebagai contoh, pada Juli tahun ini wilayah Sardinia, italia suhunya mencapai 48 °C, Rhodes, Yunani 49 °C, dan Maroko serta Afrika Utara suhunya mencapai > 47 °C. Sementara itu, Amerika Serikat tercatat mencapai suhu maksimal 53 °C dan selama 31 hari berurutan mencapai suhu > 43°C.

"Yang sangat mencemaskan di Bolivia saat winter di Agustus suhunya mencapai 45°C. Ini realita dengan pengolahan data yang diukur langsung dan dirasakan oleh masyarakat," ujarnya.

Lantas bagaimana di Indonesia? Secara umum, Indonesia turut merasakan dampak menghangatnya suhu bumi dalam lima bulan yang dimulai sejak Juni hingga Oktober. Namun, berdasarkan data BMKG, suhu maksimum di Indonesia pada periode tersebut mencapai 38 °C. Hal ini disebabkan karena 60% luas area Indonesia adalah laut dengan atmosfer yang relatif lembap, sehingga menjadi penyangga kenaikan temperatur.

Namun bukan berarti masyarakat Indonesia bisa tenang-tenang dalam menghadapi perubahan iklim. Dampak perubahan iklim seyogianya sangat bisa dirasakan pada hari-hari ini. Fenomena El Nino yang terjadi pada beberapa bulan terakhir mengakibatkan musim kemarau lebih kering dari biasanya. Akibatnya, kekeringan terjadi di banyak wilayah Indonesia.

Menurut Dwikorita, akibat perubahan iklim, secara global akan mengakibatkan zona-zona global water hotspot atau zona kekeringan. Artinya perubahan iklim memberikan tekanan tambahan pada sumber daya air yang sudah langka menghasilkan apa yang dikenal sebagai water hotspot.

Jika ditelaah lebih dalam, potensi water hotspot di Indonesia tidak akan separah wilayah negara lain karena pada dasarnya Indonesia memiliki luas lautan yang sangat cukup. Namun, perlu dipahami sumber daya kehidupan masyarakat Indonesia mayoritas berada di darat dan bukan di laut. Sehingga hal ini perlu diantisipasi secara matang.

Hal ini berkorelasi karena akibat terciptanya water hotspot akan berpengaruh pada ketahanan pangan. Organisasi Pangan Dunia (FAO) memprediksi pada pertengahan abad ini atau saat Indonesia memasuki masa emas akan terjadi krisis pangan di mana lebih dari 500 juta petani skala kecil yang memproduksi 80% stok pangan dunia adalah yang paling rentan terhadap perubahan iklim.

"Kita harus mulai berpikir bagaimana sumber daya kehidupan itu lebih banyak di laut karena relatif kurang terdampak. Kalau di darat semakin merah, semakin oranye seperti saat ini berarti kerentanannya cukup tinggi," kata Dwikorita.

Di hadapan puluhan orang peserta seminar civitas akademika UGM, Dwikorita menjelaskan saat ini pemerintah sedang menyusun Instruksi Presiden (Inpres) kebijakan Indonesia untuk rencana pembangunan jangka panjang sehingga diproyeksikan sampai Indonesia emas harus berkorelasi dengan kebijakan ketahanan iklim dan bencana.

Sehingga peran BMKG dalam hal ini adalah melakukan monitoring secara nasional dan global. Tujuannya, memberikan informasi pengetahuan dan kearifan agar masyarakat Indonesia bisa beradaptasi dan memitigasi dampak perubahan iklim.

Adaptasi sendiri memiliki makna menyesuaikan seperti dengan informasi iklim dan cuaca yang di keluarkan BMKG dapat menjadi rujukan para petani dalam memulai musim tanam dan musim panennya. Perlu diingat, prakiraan musim saat ini sudah tidak lagi dapat dipastikan karena terus mengalami pergeseran akibat perubahan iklim.

Contoh adapatasi petani ialah ketika musim kemarau tiba maka bibit tanaman yang ditanam adalah yang cocok dengan musim kemarau begitupun sebaliknya pada saat musim hujan. Mitigasi lainnya adalah dengan memanen air hujan pada saat musim hujan tiba dan bisa digunakan pada saat musim kemarau tiba.

"Mitigasi juga penting adalah menekan laju kenaikan suhu. Artinya ditekan tidak lebih dari 1,5 °C Tujuannya agar dampak bencana dan kekeringan bisa diminimalisir. Caranya, mengurangi produksi gas rumah kaca," pungkasnya.

Gempabumi Terkini

  • 20 Mei 2024, 20:42:24 WIB
  • 4.6
  • 22 km
  • 7.69 LS - 106.42 BT
  • Pusat gempa berada di laut 79 km BaratDaya Kabupaten Sukabumi
  • Dirasakan (Skala MMI): III Sindangbarang, III Nagrak, III Cibinong, III Cipamingkis, III Surade, III Jampang, II - III Cigaru, II-III Simpenan, II - III Kabupaten Sukabumi
  • Selengkapnya →
  • Pusat gempa berada di laut 79 km BaratDaya Kabupaten Sukabumi
  • Dirasakan (Skala MMI): III Sindangbarang, III Nagrak, III Cibinong, III Cipamingkis, III Surade, III Jampang, II - III Cigaru, II-III Simpenan, II - III Kabupaten Sukabumi
  • Selengkapnya →

Siaran Pers

Punya Banyak Manfaat, BMKG Berbagi Praktik Baik Teknologi Modifikasi Cuaca dengan TunisiaBali (20 Mei 2024) - Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menyebut bahwa Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) memberikan dampak positif di tengah laju perubahan iklim. Hal tersebut disampaikan Dwikorita pada saat pertemuan Bilateral dengan Menteri Agrikultur, Sumber Daya Hidraulik, dan Perikanan Tunisia Abdelmonaam Belaati. "Seiring intensitas cuaca ekstrem yang tinggi memang negara kita (Indonesia-red) banyak menderita akibat bencana yang diakibatkannya dan itulah mengapa TMC menjadi salah satu pendekatan mitigasi yang bisa dilakukan pada saat kita terancam," kata Dwikorita di Posko TMC Bandara Internasional Ngurah Rai, Bali, Minggu (19/5). Dwikorita menjelaskan bahwa TMC dapat dilakukan untuk memitigasi bencana seperti cuaca ekstrem yang disebabkan oleh perubahan iklim. Misalnya, Indonesia pernah mengalami cuaca esktrem yang disebabkan oleh fenomena El Nino pada 2015, 2016, dan 2019 di mana banyak wilayah yang mengalami kekeringan dan kebakaran hutan. Akibat kejadian tersebut, kata dia, banyak kerugian yang disebabkan dan membuat masyarakat menderita. Oleh karenanya, berdasarkan hasil analisis BMKG pada saat El Ni�o tahun 2023, BMKG telah belajar banyak dan memanfaatkan TMC sebagai bentuk mitigasi terhadap dampak bencana yang dihasilkan. Diterangkan Dwikorita, pada saat El Nino, sering kali terjadi penurunan air tanah sehingga menciptakan lahan yang sangat kering dan sangat sensitif terhadap kebakaran hutan. Secara alami, jika dahan pohon saling bergesekan, maka kebakaran pun bisa terjadi. "Nah, TMC bisa digunakan untuk mengantisipasi kebakaran tersebut dengan menyemai awan-awan di wilayah yang rentan mengalami kebakaran hutan dan lahan. Data yang dimiliki BMKG, Terdapat sekitar 90 atau 80% pengurangan kebakaran hutan," ujarnya. Sementara itu, Pelaksana Tugas (Plt.) Deputi Bidang Modifikasi Cuaca BMKG Tri Handoko Seto menyampaikan bahwa BMKG telah melakukan cloud sheeding selama lima hari untuk menangani bencana hidrometeorologi banjir bandang dan banjir lahar hujan di Sumatra Barat. Sebanyak 15 ton garam disemai di wilayah Sumatra Barat untuk menahan intensitas hujan yang cukup tinggi dan berpotensi membawa material vulkanik sisa letusan Gunung Marapi. TMC dilakukan dengan tujuan untuk mengurangi intensitas hujan di lereng Gunung Marapi dan memudahkan pencarian korban hilang. Seto menegaskan bahwa TMC sangat penting untuk menyelamatkan hidup manusia, menjamin kemakmuran, dan kesejahteraan manusia karena membantu produksi pertanian di daerah kering. Oleh karenanya usaha ini harus terus dilakukan secara kolektif. Sementara itu, Menteri Agrikultur, Sumber Daya Hidraulik, dan Perikanan Tunisia Abdelmonaam Belaati mengampresiasi kemampuan BMKG dalam melakukan TMC. Menurutnya, TMC merupakan pekerjaan yang sangat baik demi menjaga keberlangsungan hidup manusia. Abdelmonaam bercerita, Tunisia mencatat kekeringan selama 5-7 tahun yang menyebabkan pasokan air berkurang. Dan oleh karenanya, dengan kunjungan ke Indonesia, Tunisia ingin mencari solusi bagaimana TMC bisa dilakukan dengan efektif. Saat ini untuk menanggulangi persoalan tersebut Tunisia sedang melakukan desalinasi air laut atau proses menghilangkan kadar garam dari air sehingga dapat dikonsumsi oleh makhluk hidup. Juga sedang mencoba memikirkan bagaimana bisa menggunakan air bekas dan air olahan. "Dan solusi lainnya adalah bagaimana bisa melakukan modifikasi cuaca. Bagaimana kita bisa mendatangkan hujan ke suatu negara. Itu sangat penting dan itulah sebabnya kami ada di sini hari ini dan berharap dapat terus bekerja sama," pungkasnya. (*) Biro Hukum dan Organisasi Bagian Hubungan Masyarakat Instagram : @infoBMKG Twitter : @infoBMKG @InfoHumasBMKG Facebook : InfoBMKG Youtube : infoBMKG Tiktok : infoBMKG

  • 20 Mei 2024