Gempabumi Tektonik M=6.4 Mengguncang Wilayah Jawa Timur dan Pulau Bali, Tidak Berpotensi Tsunami

  • Pusat Gempa Nasional
  • 11 Okt 2018
Gempabumi Tektonik M=6.4 Mengguncang Wilayah Jawa Timur dan Pulau Bali, Tidak Berpotensi Tsunami

Hari Kamis, 11 Oktober 2018, pukul 01.44.57 WIB, wilayah timur laut Situbondo terjadi gempa tektonik di laut. Hasil analisis BMKG menunjukkan informasi awal gempa ini berkekuatan M=6,4. Selanjutnya setelah pengolahan dilengkapi dengan data gempa hasil catatan dari 156 sensor seismik diperoleh magnitudo hasil pemutakhiran menjadi berkekuatan M=6,0.

Episenter gempa ini terletak pada koordinat 7,46 LS dan 114,44 BT, atau tepatnya berlokasi di laut pada jarak 56 km arah timur laut Kota Situbondo, Kabupaten Situbondo, Provinsi Jawa Timur, pada kedalaman 12 km.

Dengan memperhatikan lokasi episenter dan kedalaman hiposenternya, tampak bahwa gempa yang terjadi merupakan jenis gempa dangkal akibat aktivitas sesar lokal di dasar Laut. Adapun hasil analisis mekanisme sumber gempa menunjukkan bahwa gempa ini, dibangkitkan oleh adanya deformasi batuan kerak dangkal dengan mekanisme pergerakan naik (thrust fault).

Melihat mekanisme sumber yang terjadi dan arah jurus sesar (strike) gempa ini tampak ada kemiripan mekanisme sumber dengan gempa-gempa terjadi di utara Bali, Lombok, Sumbawa, dan Flores. Apakah gempa ini memiliki kaitan langsung dengan aktivitas Sesar Naik Flores, kita masih akan lakukan kaji dan analisis lebih lanjut.

Berdasarkan peta seismisitas dan sejarah kegempannya, zona ini merupakan kawasan seismisitas rendah (low seismicity), sehingga aktivitas gempa ini sangat menarik bagi para ahli kebumian terkait kajian gempa dan identifikasi sesar aktif baru.

Guncangan gempabumi ini dilaporkan dirasakan di Pulau Madura, Jawa Timur, dan Bali. Di Pulau Sapudi dan Kalianget Kabupaten Sumenep guncangan gempa dirasakan dalam skala intensitas IV-V MMI. Di Situbondo, Banyuwangi, dan Jembrana Bali Barat gempa dirasakan dalam skala intensitas III-IV MMI, Sedangkan di Denpasar, Kuta, dan Nusa Dua dirasakan dalam skala intensitas III MMI. Gempabumi ini juga dilaporkan telah menimbulkan kerusakan beberapa rumah di Pulau Sapudi. Jika memperhatikan rumah-rumah yang mengalami kerusakan tampak bahwa bangunan tersebut tidak memiliki struktur yang tahan goncangan gempabumi.

Hingga pukul 05.30 WIB dilaporkan dampak gempa berupa kerusakan. Banyak bangunan rumah terjadi di Kecamatan Bluto, Kecamatan Kalianget, Kecamatan Batang-Batang, dan Pulau Sapudi, Kabupaten Sumenep. Selain itu kerusakan beberapa rumah juga dilaporkan terjadi di Kabupaten Jembrana, Bali Barat. Sementara Candi Bentar yang terdapat di Jembrana, juga dilaporkan mengalami kerusakan akibat gempa ini.

Selain itu, gempa ini juga dilaporkan menimbulkan korban jiwa 3 orang meninggal dunia di Dusun Jambusok Desa Prambanan, Kecamatan Gayam, Kabupaten Sumenep. Hasil pemodelan menunjukkan bahwa gempabumi tidak berpotensi tsunami.

Hingga pukul 08.00 WIB, hasil monitoring BMKG menunjukkan telah terjadi 14 aktivitas gempa susulan (aftershock). Gempa susulan paling kuat terjadi pada pukul 2.22 WIB dengan kekuatani M=3,5 dan gempa susulan paling lemah terjadi pada pukul 3,13 WIB dengan kekuatan M=2,4.

Kepada masyarakat diimbau agar tetap tenang dan tidak terpengaruh oleh isu yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.*

Jakarta, 11 Oktober 2018

A.n. Kepala BMKG

Deputi Bidang Geofisika BMKG

Dr. Ir. MUHAMAD SADLY, M.Eng.

Gempabumi Terkini

  • 21 Mei 2024, 02:42:13 WIB
  • 5.3
  • 10 km
  • 9.28 LS - 112.61 BT
  • Pusat gempa berada di laut 127 km tenggara Kabupaten Malang
  • Dirasakan (Skala MMI): III Karangkates, II Malang, II Jember, II Kepanjen, II Kuta
  • Selengkapnya →
  • Pusat gempa berada di laut 127 km tenggara Kabupaten Malang
  • Dirasakan (Skala MMI): III Karangkates, II Malang, II Jember, II Kepanjen, II Kuta
  • Selengkapnya →

Siaran Pers

Punya Banyak Manfaat, BMKG Berbagi Praktik Baik Teknologi Modifikasi Cuaca dengan TunisiaBali (20 Mei 2024) - Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menyebut bahwa Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) memberikan dampak positif di tengah laju perubahan iklim. Hal tersebut disampaikan Dwikorita pada saat pertemuan Bilateral dengan Menteri Agrikultur, Sumber Daya Hidraulik, dan Perikanan Tunisia Abdelmonaam Belaati. "Seiring intensitas cuaca ekstrem yang tinggi memang negara kita (Indonesia-red) banyak menderita akibat bencana yang diakibatkannya dan itulah mengapa TMC menjadi salah satu pendekatan mitigasi yang bisa dilakukan pada saat kita terancam," kata Dwikorita di Posko TMC Bandara Internasional Ngurah Rai, Bali, Minggu (19/5). Dwikorita menjelaskan bahwa TMC dapat dilakukan untuk memitigasi bencana seperti cuaca ekstrem yang disebabkan oleh perubahan iklim. Misalnya, Indonesia pernah mengalami cuaca esktrem yang disebabkan oleh fenomena El Nino pada 2015, 2016, dan 2019 di mana banyak wilayah yang mengalami kekeringan dan kebakaran hutan. Akibat kejadian tersebut, kata dia, banyak kerugian yang disebabkan dan membuat masyarakat menderita. Oleh karenanya, berdasarkan hasil analisis BMKG pada saat El Ni�o tahun 2023, BMKG telah belajar banyak dan memanfaatkan TMC sebagai bentuk mitigasi terhadap dampak bencana yang dihasilkan. Diterangkan Dwikorita, pada saat El Nino, sering kali terjadi penurunan air tanah sehingga menciptakan lahan yang sangat kering dan sangat sensitif terhadap kebakaran hutan. Secara alami, jika dahan pohon saling bergesekan, maka kebakaran pun bisa terjadi. "Nah, TMC bisa digunakan untuk mengantisipasi kebakaran tersebut dengan menyemai awan-awan di wilayah yang rentan mengalami kebakaran hutan dan lahan. Data yang dimiliki BMKG, Terdapat sekitar 90 atau 80% pengurangan kebakaran hutan," ujarnya. Sementara itu, Pelaksana Tugas (Plt.) Deputi Bidang Modifikasi Cuaca BMKG Tri Handoko Seto menyampaikan bahwa BMKG telah melakukan cloud sheeding selama lima hari untuk menangani bencana hidrometeorologi banjir bandang dan banjir lahar hujan di Sumatra Barat. Sebanyak 15 ton garam disemai di wilayah Sumatra Barat untuk menahan intensitas hujan yang cukup tinggi dan berpotensi membawa material vulkanik sisa letusan Gunung Marapi. TMC dilakukan dengan tujuan untuk mengurangi intensitas hujan di lereng Gunung Marapi dan memudahkan pencarian korban hilang. Seto menegaskan bahwa TMC sangat penting untuk menyelamatkan hidup manusia, menjamin kemakmuran, dan kesejahteraan manusia karena membantu produksi pertanian di daerah kering. Oleh karenanya usaha ini harus terus dilakukan secara kolektif. Sementara itu, Menteri Agrikultur, Sumber Daya Hidraulik, dan Perikanan Tunisia Abdelmonaam Belaati mengampresiasi kemampuan BMKG dalam melakukan TMC. Menurutnya, TMC merupakan pekerjaan yang sangat baik demi menjaga keberlangsungan hidup manusia. Abdelmonaam bercerita, Tunisia mencatat kekeringan selama 5-7 tahun yang menyebabkan pasokan air berkurang. Dan oleh karenanya, dengan kunjungan ke Indonesia, Tunisia ingin mencari solusi bagaimana TMC bisa dilakukan dengan efektif. Saat ini untuk menanggulangi persoalan tersebut Tunisia sedang melakukan desalinasi air laut atau proses menghilangkan kadar garam dari air sehingga dapat dikonsumsi oleh makhluk hidup. Juga sedang mencoba memikirkan bagaimana bisa menggunakan air bekas dan air olahan. "Dan solusi lainnya adalah bagaimana bisa melakukan modifikasi cuaca. Bagaimana kita bisa mendatangkan hujan ke suatu negara. Itu sangat penting dan itulah sebabnya kami ada di sini hari ini dan berharap dapat terus bekerja sama," pungkasnya. (*) Biro Hukum dan Organisasi Bagian Hubungan Masyarakat Instagram : @infoBMKG Twitter : @infoBMKG @InfoHumasBMKG Facebook : InfoBMKG Youtube : infoBMKG Tiktok : infoBMKG

  • 20 Mei 2024