BMKG Minta Pemda Atasi Serius Perubahan Iklim

  • Rozar Putratama
  • 09 Agu 2021
BMKG Minta Pemda Atasi Serius Perubahan Iklim

JAKARTA (6 Agustus 2021) - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika meminta komitmen penuh pemerintah daerah dalam aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Peran pemerintah daerah dinilai sangat penting karena laju pembangunan di daerah sangat masif.

"Aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim butuh komitmen politik karena harus dimulai dari kepala daerah yang diwujudkan dalam rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD)," ungkap Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati dalam webinar yang digelar Deputi Bidang Klmatologi, BMKG, Jumat (6/8).

Webinar ini diselenggarakan dalam rangka purna tugas dan didedikasikan kepada sosok Deputi Bidang Klimatologi, Herizal yang memiliki peran sentral sebagai personil terdepan dalam menjalankan tugas dan fungsi keorganisasian di bidang iklim dan kualitas udara, sehingga dapat jadi contoh untuk generasi penerus berikutnya. Adapun temanya "Menuju layanan prima iklim dan kualitas udara dengan menjaga ketahanan sistem yang sudah ada, memperkuat kondisi eksisting, untuk masa depan yang lebih baik."

Hadir sebagai pembicara dalam webinar tersebut, Agus Justianto Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Christoph Zellwenger dari Global Atmosphere Watch (GAW) World Calibration Centre, dan Martin Steinbacher dari Science Activity Center, Switzerland.

Menurut Dwikorita, pemerintah kabupaten/kota harus mempersiapkan kemungkinan-kemungkinan terburuk dari bencana alam serta dampak perubahan iklim, seperti kejadian badai tropis, banjir, banjir bandang, longsor, angin kencang, dan kekeringan yang diprediksi akan lebih sering terjadi dengan intensitas yang lebih kuat, ataupun mencairnya es di puncak Jaya Wijaya Papua, yang diprediksi oleh BMKG akan punah di tahun 2025, dan naiknya muka air laut. Mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim sudah mendesak harus dilakukan segera untuk mencegah risiko dan kerugian yang lebih besar.

Dwikorita menyebut, mengatasi persoalan perubahan iklim adalah tugas yang cukup menantang, karena ini membutuhkan komitmen gotong royong dan koneksitas yang kuat dari level pusat hingga daerah, dengan usaha-usaha yang komprehensif dan nyata, misalnya lebih menggencarkan penghijauan secara tepat, pengendalian tata ruang secara lestari, pencegahan masif terhadap karhutla, menggalakkan penggunaan energi terbarukan dan mengurangi penggunaan energi fosil, menerapkan transportasi dan pembangunan infrastruktur yang ramah lingkungan.

"Jika komitmen hanya dilakukan satu daerah saja, maka hal tersebut, menjadi kurang berarti. Kita harus membangun persepsi bersama bahwa perubahan iklim ini adalah sebuah kerisauan dan ancaman bersama yang juga harus dimitigasi bersama-sama, karena dampaknya tidak mengenal batas administrasi. Masyarakat juga harus dilibatkan, tidak hanya pemerintah," ujarnya.

Dwikorita membeberkan sejumlah fakta yang dirilis World Meteorological Organization (WMO) dimana suhu tahun 2020 menjadi salah satu dari tiga tahun terpanas yang pernah tercatat meski terjadi La Nina. Selain itu, temperatur rata-rata global permukaan bumi saat ini sudah mencapai 1,2 derajat celcius lebih tinggi dari pada tahun 1850-an.

Di Indonesia sendiri, lanjut Dwikorita, berdasarkan pengamatan BMKG, tahun 2020 merupakan tahun terpanas kedua dalam catatan. Pengamatan dari 91 stasiun BMKG menunjukkan suhu rata-rata permukaan pada tahun 2020 lebih tinggi 0,7°C dari rata-rata periode referensi tahun 1981-2010.

Situasi ini, kata dia, memicu pergeseran pola musim dan suhu udara yang mengakibatkan peningkatan frekuensi dan intensitas bencana hidrometeorologi. Salah satunya adalah kejadian kebakaran hutan dan lahan yang tidak hanya dipengaruhi oleh kondisi kekeringan yang ekstrem, tetapi juga menyebabkan peningkatan emisi karbon dan partikulat ke udara.

"Saya berharap fakta-fakta ini dapat perhatian kita bersama guna mencegah pemanasan global semakin parah," pungkasnya.

BMKG pun berkomitmen untuk terus meningkatkan kecakapan SDMnya dan keandalan teknologinya untuk observasi, processing, analisis, prakiraan, prediksi, proyeksi dan peringatan dini, agar tren dan anomali iklim dan cuaca serta potensi kejadian ekstrem dapat terdeteksi lebih dini, sehingga upaya antisipasi dan mitigasi bersama semua pihak dapat dilakukan secara lebih cepat, tepat, dan akurat. (*)

Gempabumi Terkini

  • 20 Mei 2024, 20:42:24 WIB
  • 4.6
  • 22 km
  • 7.69 LS - 106.42 BT
  • Pusat gempa berada di laut 79 km BaratDaya Kabupaten Sukabumi
  • Dirasakan (Skala MMI): III Sindangbarang, III Nagrak, III Cibinong, III Cipamingkis, III Surade, III Jampang, II - III Cigaru, II-III Simpenan, II - III Kabupaten Sukabumi
  • Selengkapnya →
  • Pusat gempa berada di laut 79 km BaratDaya Kabupaten Sukabumi
  • Dirasakan (Skala MMI): III Sindangbarang, III Nagrak, III Cibinong, III Cipamingkis, III Surade, III Jampang, II - III Cigaru, II-III Simpenan, II - III Kabupaten Sukabumi
  • Selengkapnya →

Siaran Pers

Punya Banyak Manfaat, BMKG Berbagi Praktik Baik Teknologi Modifikasi Cuaca dengan TunisiaBali (20 Mei 2024) - Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menyebut bahwa Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) memberikan dampak positif di tengah laju perubahan iklim. Hal tersebut disampaikan Dwikorita pada saat pertemuan Bilateral dengan Menteri Agrikultur, Sumber Daya Hidraulik, dan Perikanan Tunisia Abdelmonaam Belaati. "Seiring intensitas cuaca ekstrem yang tinggi memang negara kita (Indonesia-red) banyak menderita akibat bencana yang diakibatkannya dan itulah mengapa TMC menjadi salah satu pendekatan mitigasi yang bisa dilakukan pada saat kita terancam," kata Dwikorita di Posko TMC Bandara Internasional Ngurah Rai, Bali, Minggu (19/5). Dwikorita menjelaskan bahwa TMC dapat dilakukan untuk memitigasi bencana seperti cuaca ekstrem yang disebabkan oleh perubahan iklim. Misalnya, Indonesia pernah mengalami cuaca esktrem yang disebabkan oleh fenomena El Nino pada 2015, 2016, dan 2019 di mana banyak wilayah yang mengalami kekeringan dan kebakaran hutan. Akibat kejadian tersebut, kata dia, banyak kerugian yang disebabkan dan membuat masyarakat menderita. Oleh karenanya, berdasarkan hasil analisis BMKG pada saat El Ni�o tahun 2023, BMKG telah belajar banyak dan memanfaatkan TMC sebagai bentuk mitigasi terhadap dampak bencana yang dihasilkan. Diterangkan Dwikorita, pada saat El Nino, sering kali terjadi penurunan air tanah sehingga menciptakan lahan yang sangat kering dan sangat sensitif terhadap kebakaran hutan. Secara alami, jika dahan pohon saling bergesekan, maka kebakaran pun bisa terjadi. "Nah, TMC bisa digunakan untuk mengantisipasi kebakaran tersebut dengan menyemai awan-awan di wilayah yang rentan mengalami kebakaran hutan dan lahan. Data yang dimiliki BMKG, Terdapat sekitar 90 atau 80% pengurangan kebakaran hutan," ujarnya. Sementara itu, Pelaksana Tugas (Plt.) Deputi Bidang Modifikasi Cuaca BMKG Tri Handoko Seto menyampaikan bahwa BMKG telah melakukan cloud sheeding selama lima hari untuk menangani bencana hidrometeorologi banjir bandang dan banjir lahar hujan di Sumatra Barat. Sebanyak 15 ton garam disemai di wilayah Sumatra Barat untuk menahan intensitas hujan yang cukup tinggi dan berpotensi membawa material vulkanik sisa letusan Gunung Marapi. TMC dilakukan dengan tujuan untuk mengurangi intensitas hujan di lereng Gunung Marapi dan memudahkan pencarian korban hilang. Seto menegaskan bahwa TMC sangat penting untuk menyelamatkan hidup manusia, menjamin kemakmuran, dan kesejahteraan manusia karena membantu produksi pertanian di daerah kering. Oleh karenanya usaha ini harus terus dilakukan secara kolektif. Sementara itu, Menteri Agrikultur, Sumber Daya Hidraulik, dan Perikanan Tunisia Abdelmonaam Belaati mengampresiasi kemampuan BMKG dalam melakukan TMC. Menurutnya, TMC merupakan pekerjaan yang sangat baik demi menjaga keberlangsungan hidup manusia. Abdelmonaam bercerita, Tunisia mencatat kekeringan selama 5-7 tahun yang menyebabkan pasokan air berkurang. Dan oleh karenanya, dengan kunjungan ke Indonesia, Tunisia ingin mencari solusi bagaimana TMC bisa dilakukan dengan efektif. Saat ini untuk menanggulangi persoalan tersebut Tunisia sedang melakukan desalinasi air laut atau proses menghilangkan kadar garam dari air sehingga dapat dikonsumsi oleh makhluk hidup. Juga sedang mencoba memikirkan bagaimana bisa menggunakan air bekas dan air olahan. "Dan solusi lainnya adalah bagaimana bisa melakukan modifikasi cuaca. Bagaimana kita bisa mendatangkan hujan ke suatu negara. Itu sangat penting dan itulah sebabnya kami ada di sini hari ini dan berharap dapat terus bekerja sama," pungkasnya. (*) Biro Hukum dan Organisasi Bagian Hubungan Masyarakat Instagram : @infoBMKG Twitter : @infoBMKG @InfoHumasBMKG Facebook : InfoBMKG Youtube : infoBMKG Tiktok : infoBMKG

  • 20 Mei 2024