BMKG Gelar FGD Bahas Tantangan Deteksi Dini Tsunami Jarak Dekat, Serta Rencana Aksi ke Depan

  • Ibrahim
  • 26 Jun 2021
BMKG Gelar FGD Bahas Tantangan Deteksi Dini Tsunami Jarak Dekat, Serta Rencana Aksi ke Depan

Jakarta - Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) kembali menggelar Focus Group Disccusion (FGD) "Tantangan Deteksi Dini Tsunami Jarak Dekat dan Rencana Aksi ke Depan".

FGD yang berlangsung pada Jumat (25/6) bertujuan untuk memberikan gambaran kondisi terkini pengetahuan tentang ancaman gempa bumi dan tsunami di Indonesia terutama dari sumber non tipikal. Selain itu juga kegiatan FGD ini juga untuk memberikan gambaran kemampuan BMKG dan instansi lain dalam upaya mitigasi gempa bumi dan tsunami dekat.

Dalam kesempatan ini turut serta hadir Dr. Widjo Kongko dari BPPT, Dr. Sugeng Pribadi dari BMKG, Dr. Yudhicara, M,Si dari PVMBG, Dr. Semeidi Husrin dari Kementerian Kelautan dan Perikanan. Lalu penanggap oleh Dr. Danny Hilman Natawidjaja dari LIPI, Dr. Gegar Prasetya dari IATsl serta Dr. Wahyu Triyoso dari ITB.

Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menjelaskan bahwa Peraturan Presiden (Perpres) No. 93 tahun 2019 tentang penguatan dan pengembangan sistem informasi gempabumi dan peringatan dini tsunami harus diimplementasikan secara nyata. "Tidak bisa K/L/D sendiri-sendiri dan masih mengedepankan ego sektoral karena yang menjadi taruhan adalah nyawa rakyat Indonesia," ujar Dwikorita

Ia menegaskan, dalam Perpres tersebut Presiden menekankan pentingnya pencegahan dan mitigasi dalam menghadapi kebencanaan. Koordinasi yang baik, menurutnya, akan mencegah dampak kerugian yang lebih besar.

Dwikorita mengatakan, bencana alam yang bersumber dari geologi dan vulkanologi seperti gempa bumi, tsunami, gunung berapi, dan lain sebagainya, merupakan peristiwa yang tidak bisa dihindari karena kondisi wilayah Indonesia rawan bencana, yang sebagian besarnya terdapat patahan-patahan lempeng bumi. Namun demikian, risiko dari bencana yang akan terjadi bisa diminimalisir dengan deteksi dini.

"Indonesia punya sejarah panjang kebencanaan. Mayoritas wilayah Indonesia merupakan daerah yang rawan akan terjadinya gempa bumi dan tsunami. Maka dari itu upaya mitigasi terintegrasi perlu diterapkan. Jangan sampai kita masih gagap,"imbuhnya.

Masyarakat, lanjut Dwikorita harus menjadi subjek dalam upaya mitigasi bencana. Dengan begitu masyarakat akan terdidik bagaimana memitigasi bencana, membangun kewaspadaan dan kesiapsiagaan, kemudian tanggap terhadap pemulihan dalam berbagai aspeknya apabila bencana benar-benar terjadi.

Dwikroita menyebut, Jika kesadaran masyarakat telah terbentuk, maka ke depan masyarakat Indonesia tidak akan lagi berasumsi bahwa urusan bencana hanya menjadi urusan dan kewajiban Pemerintah, BMKG, BNPB, SAR, TNI, atau BPBD.

"Literasi kebencanaan masyarakat perlu kita tingkatkan. Terutama masyarakat yang tinggal didaerah-daerah rawan bencana. Ini pekerjaan rumah besar yang tidak bisa dikerjakan hanya oleh BMKG saja. Perlu kerja bersama dengan semua pihak hingga level desa," paparnya.

"BMKG sendiri saat ini tengah membangun dan memperkuat sistem peringatan dini gempa dan tsunami. Kajian dan riset terus dilakukan dengan memanfaatkan kemajuan teknologi High Performance Computing (HPC), Artificial intelligence (AI) dan big data, serta melibatkan Institusi Penelitian, Kerekayasaan, serta Perguruan Tinggi," tambah dia.

Gempabumi Terkini

  • 20 Mei 2024, 20:42:24 WIB
  • 4.6
  • 22 km
  • 7.69 LS - 106.42 BT
  • Pusat gempa berada di laut 79 km BaratDaya Kabupaten Sukabumi
  • Dirasakan (Skala MMI): III Sindangbarang, III Nagrak, III Cibinong, III Cipamingkis, III Surade, III Jampang, II - III Cigaru, II-III Simpenan, II - III Kabupaten Sukabumi
  • Selengkapnya →
  • Pusat gempa berada di laut 79 km BaratDaya Kabupaten Sukabumi
  • Dirasakan (Skala MMI): III Sindangbarang, III Nagrak, III Cibinong, III Cipamingkis, III Surade, III Jampang, II - III Cigaru, II-III Simpenan, II - III Kabupaten Sukabumi
  • Selengkapnya →

Siaran Pers

Punya Banyak Manfaat, BMKG Berbagi Praktik Baik Teknologi Modifikasi Cuaca dengan TunisiaBali (20 Mei 2024) - Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menyebut bahwa Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) memberikan dampak positif di tengah laju perubahan iklim. Hal tersebut disampaikan Dwikorita pada saat pertemuan Bilateral dengan Menteri Agrikultur, Sumber Daya Hidraulik, dan Perikanan Tunisia Abdelmonaam Belaati. "Seiring intensitas cuaca ekstrem yang tinggi memang negara kita (Indonesia-red) banyak menderita akibat bencana yang diakibatkannya dan itulah mengapa TMC menjadi salah satu pendekatan mitigasi yang bisa dilakukan pada saat kita terancam," kata Dwikorita di Posko TMC Bandara Internasional Ngurah Rai, Bali, Minggu (19/5). Dwikorita menjelaskan bahwa TMC dapat dilakukan untuk memitigasi bencana seperti cuaca ekstrem yang disebabkan oleh perubahan iklim. Misalnya, Indonesia pernah mengalami cuaca esktrem yang disebabkan oleh fenomena El Nino pada 2015, 2016, dan 2019 di mana banyak wilayah yang mengalami kekeringan dan kebakaran hutan. Akibat kejadian tersebut, kata dia, banyak kerugian yang disebabkan dan membuat masyarakat menderita. Oleh karenanya, berdasarkan hasil analisis BMKG pada saat El Ni�o tahun 2023, BMKG telah belajar banyak dan memanfaatkan TMC sebagai bentuk mitigasi terhadap dampak bencana yang dihasilkan. Diterangkan Dwikorita, pada saat El Nino, sering kali terjadi penurunan air tanah sehingga menciptakan lahan yang sangat kering dan sangat sensitif terhadap kebakaran hutan. Secara alami, jika dahan pohon saling bergesekan, maka kebakaran pun bisa terjadi. "Nah, TMC bisa digunakan untuk mengantisipasi kebakaran tersebut dengan menyemai awan-awan di wilayah yang rentan mengalami kebakaran hutan dan lahan. Data yang dimiliki BMKG, Terdapat sekitar 90 atau 80% pengurangan kebakaran hutan," ujarnya. Sementara itu, Pelaksana Tugas (Plt.) Deputi Bidang Modifikasi Cuaca BMKG Tri Handoko Seto menyampaikan bahwa BMKG telah melakukan cloud sheeding selama lima hari untuk menangani bencana hidrometeorologi banjir bandang dan banjir lahar hujan di Sumatra Barat. Sebanyak 15 ton garam disemai di wilayah Sumatra Barat untuk menahan intensitas hujan yang cukup tinggi dan berpotensi membawa material vulkanik sisa letusan Gunung Marapi. TMC dilakukan dengan tujuan untuk mengurangi intensitas hujan di lereng Gunung Marapi dan memudahkan pencarian korban hilang. Seto menegaskan bahwa TMC sangat penting untuk menyelamatkan hidup manusia, menjamin kemakmuran, dan kesejahteraan manusia karena membantu produksi pertanian di daerah kering. Oleh karenanya usaha ini harus terus dilakukan secara kolektif. Sementara itu, Menteri Agrikultur, Sumber Daya Hidraulik, dan Perikanan Tunisia Abdelmonaam Belaati mengampresiasi kemampuan BMKG dalam melakukan TMC. Menurutnya, TMC merupakan pekerjaan yang sangat baik demi menjaga keberlangsungan hidup manusia. Abdelmonaam bercerita, Tunisia mencatat kekeringan selama 5-7 tahun yang menyebabkan pasokan air berkurang. Dan oleh karenanya, dengan kunjungan ke Indonesia, Tunisia ingin mencari solusi bagaimana TMC bisa dilakukan dengan efektif. Saat ini untuk menanggulangi persoalan tersebut Tunisia sedang melakukan desalinasi air laut atau proses menghilangkan kadar garam dari air sehingga dapat dikonsumsi oleh makhluk hidup. Juga sedang mencoba memikirkan bagaimana bisa menggunakan air bekas dan air olahan. "Dan solusi lainnya adalah bagaimana bisa melakukan modifikasi cuaca. Bagaimana kita bisa mendatangkan hujan ke suatu negara. Itu sangat penting dan itulah sebabnya kami ada di sini hari ini dan berharap dapat terus bekerja sama," pungkasnya. (*) Biro Hukum dan Organisasi Bagian Hubungan Masyarakat Instagram : @infoBMKG Twitter : @infoBMKG @InfoHumasBMKG Facebook : InfoBMKG Youtube : infoBMKG Tiktok : infoBMKG

  • 20 Mei 2024