Udara Jateng-DIY Semakin Panas, Ini Penyebabnya

  • Hatif Thirafi
  • 10 Okt 2021
Udara Jateng-DIY Semakin Panas, Ini Penyebabnya

SIARAN PERS

YOGYAKARTA (10 Oktober 2021) - Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, Dwikorita Karnawati menyebut suhu udara di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta semakin panas. Temperatur rata-rata di Jateng dan DIY mengalami trend kenaikan selama 30 tahun terakhir.

Kenaikan tersebut tidak terjadi secara merata, namun tengah wilayah daratan mengalami kenaikan lebih tinggi daripada pesisir. Kondisi ini terjadi selain karena peningkatan emisi gas rumah kaca, juga diakibatkan tingginya laju perubahan penggunaan lahan.

Mengacu pada Perjanjian Paris, kata Dwikorita, seluruh negara diharuskan membuat kebijakan dan aksi iklim untuk mencegah suhu bumi tidak melewati ambang batas 2 derajat celsius dan berupaya maksimal untuk tidak melewati ambang batas 1,5 derajat celcius dibandingkan masa pra-industri.

"Secara mikro di Kawasan Gunung Merapi, kenaikan suhu udara di sekitar wilayah Merapi ada trend kenaikan selama 30 tahun sebesar 0,7 derajat C. Selain di Kawasan gunung Merapi, trend suhu di perkotaan dipantau dari stasiun menunjukkan trend kenaikan temperatur khusus Kota Jogjakarta dari tahun 2007. Ternyata memang ada korelasi khusus antara penutup lahan dengan kenaikan suhu," ungkap Dwikorita saat mengunjungi kawasan Bendungan Kali Gendol, Yogyakarta, Sabtu (10/10).

Turut hadir dalam kunjungan tersebut, Kepala Badan Informasi Geospasial (BIG) Muh Aris Marfai, Kepala Pusat Pemetaan dan Integrasi Tematik (PPIT) BIG Lien Rosalina, dan Putri Sri Sultan Hamengku Buwono X, Gusti Kanjeng Ratu Mangkubumi.

Analisis tersebut diambil dari hasil pengumpulan data rata rata suhu udara selama 30 tahun sejak tahun 1990 dan saat ini BMKG tengah mengupayakan pengumpulan data lebih jauh kebelakang yaitu selama kurun waktu 50 tahun guna melihat signifikasi perubahannya.

Dwikorita mangatakan, secara ekologis, kawasan lindung Gunung Merapi merupakan kawasan yang mempengaruhi kondisi terutama kualiatas lingkungan secara luas di wilayah Yogyakarta serta Jawa Tengah. Artinya, kawasan lindung Kawasan Gunung Merapi berperan besar dalam menjaga keseimbangan lingkungan di wilayah Yogyakarta dan Jawa Tengah.

"Jika kawasan ini rusak, maka akan mempengaruhi kemampuan kawasan di sekitarnya dalam hal adaptasi perubahan iklim," ujarnya.

Menurut Dwikorita, tren peningkatan suhu udara seperti ini juga terjadi di kota-kota besar lainnya. Oleh karena itu, tren tersebut harus direspon semua pihak karena bisa membawa dampak pada keberlangsungan hidup manusia. Khusus wilayah Yogyakarta, komponen ekologis di kawasan lindung Gunung Merapi harus menjadi perhatian serius, utamanya perubahan penutup lahan. Ditegaskan Dwikorita, pemerintah daerah dan seluruh pemangku kepentingan, termasuk masyarakat harus melakukan upaya-upaya mitigasi sebagai bentuk tanggungjawab serta kepedulian terhadap kualitas lingkungan.

Sementara itu, Kepala BIG Muh Aris Marfai mengatakan hasil analisis yang dilakukan BMKG dan BIG nantinya dapat digunakan oleh Kraton secara luas dalam pengelolaan kawasan Gungung Merapi dan kawasan Kagungan Dalem dan kebijakan pengelolaan Kawasan Kagungan Dalem. Tindaklanjut lainnya, lanjut dia, adalah membangun komunikasi intensif dengan Provinsi Jawa Tengah termasuk dalam sharing data yang diperlukan dalam analisis perubahan penutup lahan pada Kawasan Gunung Merapi.

Adapun GKR Mangkubumi menyampaikan keprihatinannya terhadap kondisi penutup lahan di Kawasan Merapi. Situai ini, kata dia, juga menjadi konsern utama dari Kraton Yogyakarta, baik di kaki Gunung Merapi atau di aliran sungai dan di sempadan sungai, yang saat ini kondisinya sangat memprihatinkan dan tertutupnya aliran air yang mengakibatkan hilangnya air.

GKR Mangkubumi menyebut bahwa Kawasan Gunung Merapi secara administrasi ada di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta dan juga sebagian besar ada di Provinsi Jawa Tengah. Maka dari itu, kraton akan melakukan komunikasi dengan Provinsi Jawa Tengah terkait situasi dan kondisi kekinian kawasan Gunung Merapi.

"Semoga ini juga menjadi concern dari Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, karena kondisi di Klaten dan Magelang juga sudah memprihatinkan. Hasil ini tentunya akan menjadi support membangun kesepakatan kami dari Daerah Istimewa Yogyakarta dan Provinsi Jawa Tengah dan kami mempunyai pijakan dalam pengelolaan penataan di Kawasan Gunung Merapi," ujarnya. (*)

Biro Hukum dan Organisasi
Bagian Hubungan Masyarakat

Instagram : @infoBMKG
Twitter : @infoBMKG @InfoHumasBMKG
Facebook : InfoBMKG
Youtube : infoBMKG
Tiktok : @infoBMKG

Gempabumi Terkini

  • 20 Mei 2024, 20:42:24 WIB
  • 4.6
  • 22 km
  • 7.69 LS - 106.42 BT
  • Pusat gempa berada di laut 79 km BaratDaya Kabupaten Sukabumi
  • Dirasakan (Skala MMI): III Sindangbarang, III Nagrak, III Cibinong, III Cipamingkis, III Surade, III Jampang, II - III Cigaru, II-III Simpenan, II - III Kabupaten Sukabumi
  • Selengkapnya →
  • Pusat gempa berada di laut 79 km BaratDaya Kabupaten Sukabumi
  • Dirasakan (Skala MMI): III Sindangbarang, III Nagrak, III Cibinong, III Cipamingkis, III Surade, III Jampang, II - III Cigaru, II-III Simpenan, II - III Kabupaten Sukabumi
  • Selengkapnya →

Siaran Pers

Punya Banyak Manfaat, BMKG Berbagi Praktik Baik Teknologi Modifikasi Cuaca dengan TunisiaBali (20 Mei 2024) - Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menyebut bahwa Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) memberikan dampak positif di tengah laju perubahan iklim. Hal tersebut disampaikan Dwikorita pada saat pertemuan Bilateral dengan Menteri Agrikultur, Sumber Daya Hidraulik, dan Perikanan Tunisia Abdelmonaam Belaati. "Seiring intensitas cuaca ekstrem yang tinggi memang negara kita (Indonesia-red) banyak menderita akibat bencana yang diakibatkannya dan itulah mengapa TMC menjadi salah satu pendekatan mitigasi yang bisa dilakukan pada saat kita terancam," kata Dwikorita di Posko TMC Bandara Internasional Ngurah Rai, Bali, Minggu (19/5). Dwikorita menjelaskan bahwa TMC dapat dilakukan untuk memitigasi bencana seperti cuaca ekstrem yang disebabkan oleh perubahan iklim. Misalnya, Indonesia pernah mengalami cuaca esktrem yang disebabkan oleh fenomena El Nino pada 2015, 2016, dan 2019 di mana banyak wilayah yang mengalami kekeringan dan kebakaran hutan. Akibat kejadian tersebut, kata dia, banyak kerugian yang disebabkan dan membuat masyarakat menderita. Oleh karenanya, berdasarkan hasil analisis BMKG pada saat El Ni�o tahun 2023, BMKG telah belajar banyak dan memanfaatkan TMC sebagai bentuk mitigasi terhadap dampak bencana yang dihasilkan. Diterangkan Dwikorita, pada saat El Nino, sering kali terjadi penurunan air tanah sehingga menciptakan lahan yang sangat kering dan sangat sensitif terhadap kebakaran hutan. Secara alami, jika dahan pohon saling bergesekan, maka kebakaran pun bisa terjadi. "Nah, TMC bisa digunakan untuk mengantisipasi kebakaran tersebut dengan menyemai awan-awan di wilayah yang rentan mengalami kebakaran hutan dan lahan. Data yang dimiliki BMKG, Terdapat sekitar 90 atau 80% pengurangan kebakaran hutan," ujarnya. Sementara itu, Pelaksana Tugas (Plt.) Deputi Bidang Modifikasi Cuaca BMKG Tri Handoko Seto menyampaikan bahwa BMKG telah melakukan cloud sheeding selama lima hari untuk menangani bencana hidrometeorologi banjir bandang dan banjir lahar hujan di Sumatra Barat. Sebanyak 15 ton garam disemai di wilayah Sumatra Barat untuk menahan intensitas hujan yang cukup tinggi dan berpotensi membawa material vulkanik sisa letusan Gunung Marapi. TMC dilakukan dengan tujuan untuk mengurangi intensitas hujan di lereng Gunung Marapi dan memudahkan pencarian korban hilang. Seto menegaskan bahwa TMC sangat penting untuk menyelamatkan hidup manusia, menjamin kemakmuran, dan kesejahteraan manusia karena membantu produksi pertanian di daerah kering. Oleh karenanya usaha ini harus terus dilakukan secara kolektif. Sementara itu, Menteri Agrikultur, Sumber Daya Hidraulik, dan Perikanan Tunisia Abdelmonaam Belaati mengampresiasi kemampuan BMKG dalam melakukan TMC. Menurutnya, TMC merupakan pekerjaan yang sangat baik demi menjaga keberlangsungan hidup manusia. Abdelmonaam bercerita, Tunisia mencatat kekeringan selama 5-7 tahun yang menyebabkan pasokan air berkurang. Dan oleh karenanya, dengan kunjungan ke Indonesia, Tunisia ingin mencari solusi bagaimana TMC bisa dilakukan dengan efektif. Saat ini untuk menanggulangi persoalan tersebut Tunisia sedang melakukan desalinasi air laut atau proses menghilangkan kadar garam dari air sehingga dapat dikonsumsi oleh makhluk hidup. Juga sedang mencoba memikirkan bagaimana bisa menggunakan air bekas dan air olahan. "Dan solusi lainnya adalah bagaimana bisa melakukan modifikasi cuaca. Bagaimana kita bisa mendatangkan hujan ke suatu negara. Itu sangat penting dan itulah sebabnya kami ada di sini hari ini dan berharap dapat terus bekerja sama," pungkasnya. (*) Biro Hukum dan Organisasi Bagian Hubungan Masyarakat Instagram : @infoBMKG Twitter : @infoBMKG @InfoHumasBMKG Facebook : InfoBMKG Youtube : infoBMKG Tiktok : infoBMKG

  • 20 Mei 2024