Tahun Ini, Kemarau Mengalami Kondisi Lebih Basah

  • Petugas Web
  • 19 Agu 2016
Tahun Ini, Kemarau Mengalami Kondisi Lebih Basah

Jumat, (19/8). Hari ini, Kepala BMKG, Dr. Andi Eka Sakya, M, Eng di depan puluhan media massa cetak, elektronik, dan online memberikan keterangan pers terkait perkembangan musim kemarau dan prakiraan musim hujan 2016/2015. Jika kita menengok review release musim kemarau pada 14 Maret dan 3 Juni 2016, bahwa BMKG telah memprediksi dan menyampaikan periode musim kemarau 2016 akan mengalami kondisi lebih basah. Pada bulan Juni 2016 lalu , BMKG pun memprediksi bahwa beberapa wilayah (27.2%) hingga saat ini belum memasuki musim kemarau dan masih terus terjadi curah hujan yang tinggi. Situasi ini menegaskan terjadinya `kemarau basah` atau sering dikenal pula `wet spell`.

``Jika mengamati statistik peristiwa El Nino dan La Nina pada 50 tahun terakhir, dapat disimpulkan bahwa `75% El Nino kuat dapat diikuti oleh munculnya La Nina,`ucap Andi Eka Sakya menjawab pertanyaan yang sering muncul di tengah masyarakat ``Apakah fenomena La Nina Lemah tahun 2016 akan bertahan dan menambah ``basah`` wilayah Indonesia? Karena banyak tanda tanya yang menyelimuti pikiran dan benak masyarakat. Tidak sedikit masyarakat yang kurang paham dan mengerti mengapa kondisi ini bisa terjadi .

Berdasarkan Hasil monitoring dinamika atmosfer sampai dengan pertengahan Agustus 2016 menunjukkan indeks ENSO mencapai -0.51 yang berkorelasi dengan intensitas La Nina dengan berkategori lemah. `Sebagian besar lembaga internasional memprediksi terjadinya La Nina mulai ASO (Agustus, September, Oktober),`imbuh Andi Eka Sakya.

Andi Eka Sakya menambahkan bersamaan dengan La Nina terjadi fenomena Indian Ocean Dippole Mode (IOD) negatif sejak Mei 2016, kondisi ini diprediksi bertahan hingga November 2016. Sementara itu, anomali Suhu Muka Laut yang hangat disekitar perairan Indonesia akan menambah tingginya curah hujan di Sumatera dan Jawa bagian Barat.

Di sela-sela penjelasannya Andi Eka Sakya mengutarakan bahwa pada bulan Mei dan Juni 2016 titik panas disejumlah wilayah sudah mulai menurun, tetapi pada Agustus 2016, titik panas ada di sejumlah wilayah Riau, Kalimantan Barat, dan Sumatera Selatan. Kondisi ini tidak separah dibandingkan tahun 2015. ``Berdasarkan pemantauan BMKG, perkembangan Hot Spot pada September, Oktober, November, Desember hampir tidak ada,``imbuh Andi Eka Sakya.

Hingga dasarian I Agustus 2016, sebanyak 253 ZOM (74%) sudah memasuki musim kemarau. Sementara sebanyak 89 ZOM (26%) yang belum masuk musim kemarau / masih mengalami musim hujan di periode 2015/16 diantara ZOM tersebut terdapat 12 ZOM diprakiran tidak mengalami kemarau (hujan sepanjang tahun 2016). Andi Eka menuturkan Awal Musim Hujan 2016/17 di sebagian besar wilayah Indonesia akan terjadi pada Agustus - November 2016 (92,7 %).

``Kita perlu meningkatkan kesiapan menghadapi musim hujan karena kondisi ini akan membawa dampak negatif dan postif ke berbagai sektor. Dampak positif, yaitu meningkatnya potensi luas tanam sawah, meningkatkan frekuensi tanam, ketersediaan air untuk pertanian dan waduk. Sedangkan beberapa dampak negatifnya antara lain:Peningkatan potensi banjir dan longsor, penurunan produksi kopi, tambakau, garam, tanaman buah tropika, dan tingginya gelombang mengganggu kegiatan nelayan,`` imbuh Andi Eka di akhir penjelasannya. (rn/rh)

Gempabumi Terkini

  • 20 Mei 2024, 20:42:24 WIB
  • 4.6
  • 22 km
  • 7.69 LS - 106.42 BT
  • Pusat gempa berada di laut 79 km BaratDaya Kabupaten Sukabumi
  • Dirasakan (Skala MMI): III Sindangbarang, III Nagrak, III Cibinong, III Cipamingkis, III Surade, III Jampang, II - III Cigaru, II-III Simpenan, II - III Kabupaten Sukabumi
  • Selengkapnya →
  • Pusat gempa berada di laut 79 km BaratDaya Kabupaten Sukabumi
  • Dirasakan (Skala MMI): III Sindangbarang, III Nagrak, III Cibinong, III Cipamingkis, III Surade, III Jampang, II - III Cigaru, II-III Simpenan, II - III Kabupaten Sukabumi
  • Selengkapnya →

Siaran Pers

Punya Banyak Manfaat, BMKG Berbagi Praktik Baik Teknologi Modifikasi Cuaca dengan TunisiaBali (20 Mei 2024) - Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menyebut bahwa Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) memberikan dampak positif di tengah laju perubahan iklim. Hal tersebut disampaikan Dwikorita pada saat pertemuan Bilateral dengan Menteri Agrikultur, Sumber Daya Hidraulik, dan Perikanan Tunisia Abdelmonaam Belaati. "Seiring intensitas cuaca ekstrem yang tinggi memang negara kita (Indonesia-red) banyak menderita akibat bencana yang diakibatkannya dan itulah mengapa TMC menjadi salah satu pendekatan mitigasi yang bisa dilakukan pada saat kita terancam," kata Dwikorita di Posko TMC Bandara Internasional Ngurah Rai, Bali, Minggu (19/5). Dwikorita menjelaskan bahwa TMC dapat dilakukan untuk memitigasi bencana seperti cuaca ekstrem yang disebabkan oleh perubahan iklim. Misalnya, Indonesia pernah mengalami cuaca esktrem yang disebabkan oleh fenomena El Nino pada 2015, 2016, dan 2019 di mana banyak wilayah yang mengalami kekeringan dan kebakaran hutan. Akibat kejadian tersebut, kata dia, banyak kerugian yang disebabkan dan membuat masyarakat menderita. Oleh karenanya, berdasarkan hasil analisis BMKG pada saat El Ni�o tahun 2023, BMKG telah belajar banyak dan memanfaatkan TMC sebagai bentuk mitigasi terhadap dampak bencana yang dihasilkan. Diterangkan Dwikorita, pada saat El Nino, sering kali terjadi penurunan air tanah sehingga menciptakan lahan yang sangat kering dan sangat sensitif terhadap kebakaran hutan. Secara alami, jika dahan pohon saling bergesekan, maka kebakaran pun bisa terjadi. "Nah, TMC bisa digunakan untuk mengantisipasi kebakaran tersebut dengan menyemai awan-awan di wilayah yang rentan mengalami kebakaran hutan dan lahan. Data yang dimiliki BMKG, Terdapat sekitar 90 atau 80% pengurangan kebakaran hutan," ujarnya. Sementara itu, Pelaksana Tugas (Plt.) Deputi Bidang Modifikasi Cuaca BMKG Tri Handoko Seto menyampaikan bahwa BMKG telah melakukan cloud sheeding selama lima hari untuk menangani bencana hidrometeorologi banjir bandang dan banjir lahar hujan di Sumatra Barat. Sebanyak 15 ton garam disemai di wilayah Sumatra Barat untuk menahan intensitas hujan yang cukup tinggi dan berpotensi membawa material vulkanik sisa letusan Gunung Marapi. TMC dilakukan dengan tujuan untuk mengurangi intensitas hujan di lereng Gunung Marapi dan memudahkan pencarian korban hilang. Seto menegaskan bahwa TMC sangat penting untuk menyelamatkan hidup manusia, menjamin kemakmuran, dan kesejahteraan manusia karena membantu produksi pertanian di daerah kering. Oleh karenanya usaha ini harus terus dilakukan secara kolektif. Sementara itu, Menteri Agrikultur, Sumber Daya Hidraulik, dan Perikanan Tunisia Abdelmonaam Belaati mengampresiasi kemampuan BMKG dalam melakukan TMC. Menurutnya, TMC merupakan pekerjaan yang sangat baik demi menjaga keberlangsungan hidup manusia. Abdelmonaam bercerita, Tunisia mencatat kekeringan selama 5-7 tahun yang menyebabkan pasokan air berkurang. Dan oleh karenanya, dengan kunjungan ke Indonesia, Tunisia ingin mencari solusi bagaimana TMC bisa dilakukan dengan efektif. Saat ini untuk menanggulangi persoalan tersebut Tunisia sedang melakukan desalinasi air laut atau proses menghilangkan kadar garam dari air sehingga dapat dikonsumsi oleh makhluk hidup. Juga sedang mencoba memikirkan bagaimana bisa menggunakan air bekas dan air olahan. "Dan solusi lainnya adalah bagaimana bisa melakukan modifikasi cuaca. Bagaimana kita bisa mendatangkan hujan ke suatu negara. Itu sangat penting dan itulah sebabnya kami ada di sini hari ini dan berharap dapat terus bekerja sama," pungkasnya. (*) Biro Hukum dan Organisasi Bagian Hubungan Masyarakat Instagram : @infoBMKG Twitter : @infoBMKG @InfoHumasBMKG Facebook : InfoBMKG Youtube : infoBMKG Tiktok : infoBMKG

  • 20 Mei 2024