Refleksi 2019: Kejadian Bencana Terkait Cuaca, Iklim dan Gempabumi yang Signifikan

  • Hatif Thirafi
  • 30 Des 2019
Refleksi 2019: Kejadian Bencana Terkait Cuaca, Iklim dan Gempabumi yang Signifikan

Factsheet

  1. Indonesia, secara geografis merupakan wilayah tropis yang terletak antara dua benua besar, Asia dan Australia, serta dua samudra besar, Samudra Hindia dan Samudra Pasifik. Indonesia menjadi tempat pertemuan lempeng tektonik benua besar yaitu lempeng Eurasia, Australia, dan lempeng Pasifik, sehingga menjadi jalur sabuk gunung api akibat penunjaman lempeng tektonik tersebut. Hal itu menjadikan Indonesia sangat strategis secara posisi dan sumber daya alam, selain memiliki kekayaan ragam dan keunikan dalam hal cuaca, iklim dan kegempaan yang dapat memberikan kesejahteraan namun mengandung potensi bencana.
  2. Hingga Desember 2019, tercatat telah terjadi 343 kejadian banjir, 340 tanah longsor, banjir disertai tanah longsor di 5 lokasi, 554 kejadian puting beliung. Kemarau panjang dan kekeringan tahun ini turut memicu 52 kejadian kebakaran hutan dan lahan dan bencana asap. Dalam hal kegempaan, dari ribuan kejadian gempa, tercatat terdapat 12 kejadian gempa bumi signifikan. Meskipun jumlah kejadian bencana terkait cuaca, iklim, dan kegempaan tahun 2019 paling sedikit dalam 5 tahun terakhir, masih terdapat 367 korban jiwa, 1385 lainnya menderita luka dan hampir 650 ribu orang mengungsi, selain kerugian material lainnya akibat bencana-bencana tersebut.
  3. Kekeringan yang berdampak pada sektor pertanian, sumber daya air, kehutanan dan lingkungan pada tahun 2019 turut dipicu oleh fenomena Anomali Positip Suhu Muka Laut Pasifik Bagian Tengah (El Nino) yang aktif dari September 2018 hingga Juli 2019 di Samudra Pasifik ekuator bagian tengah, yang diikuti oleh fenomena Anomali Suhu Muka Laut di Samudra Hindia dimana Suhu Muka Laut di timur Afrika lebih hangat disbandingkan dengan suhu muka laut di Barat Daya Sumatera (IOD+) yang menguat sejak April 2019 hingga Desember ini. Kedua fenomena kopel atmosfer lautan dari sebelah timur dan sebelah barat Indonesia itu memiliki andil dalam membuat musim kemarau bertambah Panjang dan kuat serta menjadikan musim hujan datang terlambat tahun ini.
  4. Kekeringan tahun 2019 menjadi cukup parah salah satu factor penyebabnya adalah lebih dinginnya suhu permukaan laut di wilayah Indonesia terutama bagian selatan lebih rendah 0.5°C atau lebih dari kondisi normalnya pada periode Juni - November 2019. Suhu permukaan laut yang lebih dingin menyebabkan sulit tumbuh awan yang berpotensi hujan akibat kurangnya kadar uap air di atmosfer akibat rendahnya penguapan dari lautan.
  5. Hal itu tampak pada tingkat kekeringan akibat rendahnya curah hujan pada periode musim kemarau dari bulan Juli hingga Oktober 2019. Secara umum, musim kemarau tahun 2019 menunjukkan kondisi lebih kering dari musim kemarau tahun 2018 dan acuan normal klimatologis tahun 1981-2010, meskin tidak lebih kering dari kondisi musim kemarau tahun 2015 saat terjadi fenomena El Nino kuat pada waktu itu. Tingkat kekeringan meteorologis juga ditunjukkan oleh periode tanpa hujan lebih dari 3 bulan (90 hari) yang cukup merata terjadi di Nusa Tenggara, Bali, dan sebagian besar Jawa. Daerah Rumbangaru, Sumba Timur mencatat rekor hari tanpa hujan terpanjang pada tahun ini yaitu 259 hari.
  6. Panjang Musim Kemarau 2019 di Indonesia cenderung lebih panjang dari normalnya. Pada tahun 2019, ~46% dari 342 Zona Musim di Indonesia mengalami panjang musim kemarau sama hingga lebih panjang 6 dasarian (2 bulan) dari normalnya. Hingga pemutakhiran data tanggal 20 Desember 2019, musim kemarau masih berlangsung di Jatim bag timur, sebagian besar P. Sulawesi, sebagian Kep. Maluku, Papua Barat, dan Papua bagian selatan.
  7. Salah satu dampak kekeringan yang cukup parah pada tahun ini adalah memburuknya kualitas udara lingkungan akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Pada periode Karhutla Agustus - Oktober 2019, BMKG mencatat konsentrasi debu polutan berukuran <10 mikron (PM10) di wilayah Sumatera menunjukkan kecenderungan tinggi. Pada bulan September, konsentrasi semua wilayah di Sumatera melebihi nilai ambang batasnya (150 ug/m3). Konsentrasi polutan di atas 450 ug/m3 terjadi di Pekanbaru pada 22-23 September yang mencapai 483.2 dan 420. 7 ug/m3. Di Palembang tercatat 476.2 dan 490.5 ug/m3 pada 14-15 Oktober. Hal ini juga terjadi di di Sampit dimana PM10 pada periode ini mencapai konsentrasi 211.2 ug/m3. Pada tanggal 12 - 16 September 2019, konsentrasi harian di Sampit lebih dari 400 ug/m3 tiap harinya.

Bagaimana Prospek Iklim Tahun 2020?

  1. Berdasarkan prediksi model El Nino BMKG hingga tahun 2020, kencendruangan Samudra Pasifik ekuator bagian tengah akan barada pada kondisi Netral, artinya kecil peluangnya akan muncul fenomena El Nino maupun La Nina di Samudra Pasifik. Sementara untuk Samudra Hindia, tidak terdapat indikasi akan munculnya fenomena IOD+ maupun IOD- yang kuat pada tahun 2020. Pada awal tahun 2020 kondisi suhu muka laut Perairan Indonesia diprakirakan normal hingga cenderung hangat yang bertahan hingga Juni 2020.
  2. Berdasarkan prediksi BMKG hingga akhir tahun 2020, curah hujan bulanan sepanjang tahun 2020 cenderung sama dengan pola normal (klimatologinya). Awal Musim Hujan akhir 2019 telah diperkirakan akan lebih mundur dari normalnya, juga bila dibandingkan tahun 2018 lalu. Curah hujan Januari - Maret 2020 diperkirakan tinggi terutama di bagian selatan Pulau Sumatera, Pulau Jawa hingga Nusa Tenggara, Kalimantan bagian tengah, Sulawesi dan Papua.
  3. Awal Musim Kemarau 2020 diprakirakan juga mirip dengan normalnya, yaitu sekitar April - Mei 2020. Tetap perlu diwaspadai wilayah yang mempunyai 2 kali periode musim kemarau seperti di Aceh dan Riau, dimana Kemarau Pertama umumnya terjadi di bulan Februari - Maret. Untuk periode musim kemarau 2020 (April - Oktober), curah hujan saat kemarau akan mirip dengan pola normalnya. Kondisi Musim Kemarau 2020 tidak akan sekering tahun 2019 di sebagian besar wilayah Indonesia (Sumatera, Kalimantan, Jawa, Bali, Nusa Tenggara).

Lesson Learnt 2019

Iklim tahun 2019 ditandai oleh musim kemarau yang lebih panjang dan kering dibanding musim kemarau tahun 2018 dan musim kemarau rerata normalnya (1981-2010).

BMKG sudah dengan baik merilis awal musim kemarau dan potensi kekeringan tahun 2019 yang dapat berdampak pada beberapa sector terkait sehingga diperlukan peningkatan sinergitas multipihak dalam mengantisipasi dampak musim kemarau.

Rekomendasi

  • Untuk meminimalkan dampak musim kemarau maka perlu memaksimalkan kapasitas waduk, embung kolam retensi dan system folder untuk penyimpanan cadangan air. Hal tersebut bias dilakukan pada puncak musim hujan yang untuk tahun 2020 diprediksi terjadi pada bulan februari - maret dan pada musim peralihan musim dari musim hujan ke musim kemarau April - Mei.
  • Perlu pemanfaatan teknologi modifikasi cuaca lebih awal untuk meningkatkan kebasahan lantai lahan gambut dan mengisi waduk dengan memperhatikan informasi cuaca dan iklim yang dikeluarkan BMKG.
  • Waspada Puncak Musim Hujan 2020 yang diprediksi terjadi pada bulan Februari dan Maret terutama di Jawa, Sulawesi Tenggara dan Papua yang diprakirakan akan mendapat hujan bulanan dengan kategori tinggi sampai sangat tinggi.
  • Peningkatkan peran serta masyarakat dikawasan potensi kebakaran hutan lahan untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan dan lahan terutama pada musim kemarau bulan Juni, Juli dan Agustus perlu ditingkatkan melalui edukasi bersama para pihak yang berkepentingan pada pengendalian kebakaran hutan dan lahan.

Jakarta, 30 Desember 2019

Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika
Prof. Dwikorita Karnawati, M.Sc., Ph.D.

Informasi selengkapnya silahkan klik tautan berikut.

Gempabumi Terkini

  • 21 Mei 2024, 02:42:13 WIB
  • 5.3
  • 10 km
  • 9.28 LS - 112.61 BT
  • Pusat gempa berada di laut 127 km tenggara Kabupaten Malang
  • Dirasakan (Skala MMI): III Karangkates, II Malang, II Jember, II Kepanjen, II Kuta
  • Selengkapnya →
  • Pusat gempa berada di laut 127 km tenggara Kabupaten Malang
  • Dirasakan (Skala MMI): III Karangkates, II Malang, II Jember, II Kepanjen, II Kuta
  • Selengkapnya →

Siaran Pers

Punya Banyak Manfaat, BMKG Berbagi Praktik Baik Teknologi Modifikasi Cuaca dengan TunisiaBali (20 Mei 2024) - Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menyebut bahwa Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) memberikan dampak positif di tengah laju perubahan iklim. Hal tersebut disampaikan Dwikorita pada saat pertemuan Bilateral dengan Menteri Agrikultur, Sumber Daya Hidraulik, dan Perikanan Tunisia Abdelmonaam Belaati. "Seiring intensitas cuaca ekstrem yang tinggi memang negara kita (Indonesia-red) banyak menderita akibat bencana yang diakibatkannya dan itulah mengapa TMC menjadi salah satu pendekatan mitigasi yang bisa dilakukan pada saat kita terancam," kata Dwikorita di Posko TMC Bandara Internasional Ngurah Rai, Bali, Minggu (19/5). Dwikorita menjelaskan bahwa TMC dapat dilakukan untuk memitigasi bencana seperti cuaca ekstrem yang disebabkan oleh perubahan iklim. Misalnya, Indonesia pernah mengalami cuaca esktrem yang disebabkan oleh fenomena El Nino pada 2015, 2016, dan 2019 di mana banyak wilayah yang mengalami kekeringan dan kebakaran hutan. Akibat kejadian tersebut, kata dia, banyak kerugian yang disebabkan dan membuat masyarakat menderita. Oleh karenanya, berdasarkan hasil analisis BMKG pada saat El Ni�o tahun 2023, BMKG telah belajar banyak dan memanfaatkan TMC sebagai bentuk mitigasi terhadap dampak bencana yang dihasilkan. Diterangkan Dwikorita, pada saat El Nino, sering kali terjadi penurunan air tanah sehingga menciptakan lahan yang sangat kering dan sangat sensitif terhadap kebakaran hutan. Secara alami, jika dahan pohon saling bergesekan, maka kebakaran pun bisa terjadi. "Nah, TMC bisa digunakan untuk mengantisipasi kebakaran tersebut dengan menyemai awan-awan di wilayah yang rentan mengalami kebakaran hutan dan lahan. Data yang dimiliki BMKG, Terdapat sekitar 90 atau 80% pengurangan kebakaran hutan," ujarnya. Sementara itu, Pelaksana Tugas (Plt.) Deputi Bidang Modifikasi Cuaca BMKG Tri Handoko Seto menyampaikan bahwa BMKG telah melakukan cloud sheeding selama lima hari untuk menangani bencana hidrometeorologi banjir bandang dan banjir lahar hujan di Sumatra Barat. Sebanyak 15 ton garam disemai di wilayah Sumatra Barat untuk menahan intensitas hujan yang cukup tinggi dan berpotensi membawa material vulkanik sisa letusan Gunung Marapi. TMC dilakukan dengan tujuan untuk mengurangi intensitas hujan di lereng Gunung Marapi dan memudahkan pencarian korban hilang. Seto menegaskan bahwa TMC sangat penting untuk menyelamatkan hidup manusia, menjamin kemakmuran, dan kesejahteraan manusia karena membantu produksi pertanian di daerah kering. Oleh karenanya usaha ini harus terus dilakukan secara kolektif. Sementara itu, Menteri Agrikultur, Sumber Daya Hidraulik, dan Perikanan Tunisia Abdelmonaam Belaati mengampresiasi kemampuan BMKG dalam melakukan TMC. Menurutnya, TMC merupakan pekerjaan yang sangat baik demi menjaga keberlangsungan hidup manusia. Abdelmonaam bercerita, Tunisia mencatat kekeringan selama 5-7 tahun yang menyebabkan pasokan air berkurang. Dan oleh karenanya, dengan kunjungan ke Indonesia, Tunisia ingin mencari solusi bagaimana TMC bisa dilakukan dengan efektif. Saat ini untuk menanggulangi persoalan tersebut Tunisia sedang melakukan desalinasi air laut atau proses menghilangkan kadar garam dari air sehingga dapat dikonsumsi oleh makhluk hidup. Juga sedang mencoba memikirkan bagaimana bisa menggunakan air bekas dan air olahan. "Dan solusi lainnya adalah bagaimana bisa melakukan modifikasi cuaca. Bagaimana kita bisa mendatangkan hujan ke suatu negara. Itu sangat penting dan itulah sebabnya kami ada di sini hari ini dan berharap dapat terus bekerja sama," pungkasnya. (*) Biro Hukum dan Organisasi Bagian Hubungan Masyarakat Instagram : @infoBMKG Twitter : @infoBMKG @InfoHumasBMKG Facebook : InfoBMKG Youtube : infoBMKG Tiktok : infoBMKG

  • 20 Mei 2024