Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Antisipasi Bencana Hidrometeorologi, Gempabumi-Tsunami Tahun 2020/2021 untuk Mewujudkan Zero Victims

  • Hatif Thirafi
  • 07 Okt 2020
Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Antisipasi Bencana Hidrometeorologi, Gempabumi-Tsunami Tahun 2020/2021 untuk Mewujudkan Zero Victims

SIARAN PERS

Jakarta (7 Oktober 2020) - BMKG baru saja menyelenggarakan Rakornas Virtual Antisipasi Bencana Hidrometeorologi dan Gempabumi-Tsunami Tahun 2020/2021 pada tanggal 7 Oktober 2020. Tema Rakornas adalah "Antisipasi Bencana Hidrometeorologi, Gempabumi dan Tsunami 2020/2021 untuk mewujudkan Zero Victims".

Hadir dalam Rakornas tersebut antara lain Menteri Koordinasi Bidang Kemaritiman dan Investasi, serta Dirjen dari Kementerian Dalam Negeri, Dirjen Anggaran Kementerian Keuangan, Dirjen Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Sekjen Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Deputi Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kepala BPPT, juga Kepala BRG. Selain itu, turut hadir Gubernur Jawa Timur, Gubernur Riau, Plt. Gubernur Aceh, serta Bupati di daerah yang berisiko mengalami bencana hidrometeorologi, gempabumi dan tsunami. Kegiatan ini juga diikuti oleh Balai Besar dan Unit Pelaksana Teknis Stasiun BMKG di seluruh Indonesia.

Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, menyampaikan rapat koordinasi ini harus segera diselenggarakan, karena pada awal Oktober 2020 BMKG, NOAA, JMA, dan BoM Australia telah memastikan terjadinya fenomena La Nina pada level moderate seiring dengan dimulainya awal musim hujan pada bulan Oktober - November. Hal ini berpotensi menyebabkan peningkatan curah hujan di sebagian besar wilayah Indonesia.

"Dengan adanya fenomena La Nina moderate ini diprediksi akan ada peningkatan curah hujan mulai bulan Oktober sampai November dan akan berdampak di hampir seluruh wilayah Indonesia, kecuali di Sumatera. Oleh karena itu saya mengajak bapak dan ibu semua untuk bersiap, karena ini sudah di depan mata," jelasnya.

Dwikorita menambahkan, catatan historis menunjukkan bahwa La Nina dapat menyebabkan terjadinya peningkatan akumulasi curah hujan bulanan di Indonesia 20% hingga 40% di atas normalnya, bahkan bisa lebih. Namun demikian, dampak La Nina tidak seragam di seluruh Indonesia. Pada bulan Oktober-November 2020, diprediksikan peningkatan curah hujan bulanan dapat terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia kecuali Sumatra. Selanjutnya, pada Desember hingga Februari 2021, peningkatan curah hujan akibat La Nina dapat terjadi di Kalimantan bagian timur, Sulawesi, Maluku-Maluku Utara dan Papua.

Sementara itu, untuk data kejadian gempa bumi, imbuh Dwikorita, berdasarkan data monitoring kegempaan yang dilakukan BMKG, sejak tahun 2017 telah terjadi trend peningkatan aktivitas gempabumi di Indonesia dalam jumlah maupun kekuatannya. Kejadian gempabumi sebelum tahun 2017 rata-rata hanya 4000-6000 kali dalam setahun, yang dirasakan atau kekuatannya lebih dari 5 sekitar 200-an. Namun setelah tahun 2017 jumlah kejadian itu meningkat menjadi lebih dari 7000 kali dalam setahun. Bahkan tahun 2018 tercatat sebanyak 11920 kali dan tahun 2019 sebanyak 11588 kejadian gempa.

"Ini bukan lagi peningkatan, tapi sebuah lonjakan yang cukup signifikan. Dengan data dan fakta bahwa kejadian tsunami yang terjadi di dunia sebagian besar dipicu oleh gempabumi tektonik, tentunya trend kejadian gempa yang melonjak ini juga mengakibatkan meningkatnya potensi tsunami. Sehingga perlu diperkuat kehandalan Sistem Mitigasi Gempabumi dan Peringatan Dini Tsunami, mengingat hingga saat ini belum ada teknologi yang mampu memprediksi kapan terjadinya gempabumi," jelas Dwikorita.

Lain daripada itu, fakta menunjukkan tsunami tidak hanya dipicu oleh gempabumi tektonik. Pada Desember 2018, terjadi peristiwa typical tsunami Selat Sunda pada 22 Desember 2018 yang diakibatkan oleh aktivitas gunung api di laut yang menurut statistik, kejadian tsunami tersebut sangatlah langka yaitu sebanyak 5% dari total kejadian tsunami di dunia.

Berdasarkan data tersebut, Dwikorita menjelaskan mitigasi serta peringatan dini gempabumi dan tsunami serta cuaca dan iklim ekstrem merupakan hal yang mendesak untuk dipersiapkan dan diperkuat. Masalah dan gap antara pusat dan daerah harus segera diidentifikasi untuk meningkatkan efektivitas dalam mewujudkan Zero Victims .

"Sebagai contoh, pada tanggal 6 Oktober kemarin kami baru saja melaksanakan gladi evakuasi tsunami IOWave20 yang diselenggarakan secara nasional dan internasional. Di situ teridentifikasi ternyata beberapa sirine tsunami tidak berfungsi, sementara untuk memperbaiki atau mengganti sudah tidak ada yang menyediakan suku cadangnya. Ini adalah masalah teknis atau mikro tapi dampaknya bisa besar sehingga perlu koordinasi yang lebih baik antara pusat dengan daerah, antara BNPB sebagai Koordinator dengan Kepala Daerah atau BPBD," tutur Dwikorita.

"Sehingga mari kita rumuskan bersama alternatif solusi dari permasalahan-permasalahan yang nanti akan teridentifikasi dan pada akhirnya akan kita rumuskan rencana aksi bersama untuk mewujudkan Zero Victims dalam menghadapi multi-bencana hidrometeorologi, gempabumi, dan tsunami," pungkas Dwikorita.

Rekomendasi Rencana Aksi Rakornas Antisipasi Bencana Hidrometeorologi, Gempabumi-Tsunami

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan mengimbau seluruh Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah untuk bersinergi dalam merespon informasi potensi bencana yang disampaikan oleh BMKG.

"Saya mendapatkan informasi dari Kepala BMKG bahwa peningkatan curah hujan akibat La Nina ini bisa sampai 40%. Jadi tolong ini disikapi secara serius. Semua pimpinan K/L, Gubernur, Bupati wajib meningkatkan kewaspadaan, apalagi kita masih dalam kondisi pandemi Covid-19," tegas Luhut.

Menurut Menko Luhut, kemajuan teknologi yang dimilik oleh BMKG saat ini dapat memudahkan siapapun untuk mengakses informasi peringatan dini yang dikeluarkan oleh BMKG. Oleh karena itu, Luhut meminta para pimpinan K/L dan daerah menjadikan informasi BMKG sebagai referensi dalam pengambilan kebijakan.

"Apa yang dilakukan oleh BMKG ini menurut saya sangat penting. Mulai saat ini kita harus memperhatikan apa saja informasi yang dikeluarkan oleh BMKG. Terlebih kita masih dalam situasi pandemi. Jika kita lengah kemudian terjadi bencana seperti banjir dan tsunami, itu bisa menimbulkan situasi chaos dan akan sangat berdampak buruk bagi masyarakat," ujarnya.

Terakhir, Luhut meminta semua pihak berkoordinasi dan berkolaborasi dalam menghadapi bencana. Sinergi antara pusat dan daerah, serta antar daerah dalam upaya peningkatan mitigasi perlu diperkuat implementasinya.

Mohon bapak ibu pimpinan, para kepala daerah untuk betul-betul bersinergi. Ini masalah kita bersama dan harus kita selesaikan bersama. Tidak boleh lagi saling menyalahkan dalam urusan bencana," pungkas Luhut. (*)

Bagian Hubungan Masyarakat BMKG
Biro Hukum dan Organisasi

Instagram : @infoBMKG
Twitter : @infoBMKG @InfoHumasBMKG
Facebook : InfoBMKG
Youtube : InfoBMKG

Gempabumi Terkini

  • 21 Mei 2024, 02:42:13 WIB
  • 5.3
  • 10 km
  • 9.28 LS - 112.61 BT
  • Pusat gempa berada di laut 127 km tenggara Kabupaten Malang
  • Dirasakan (Skala MMI): III Karangkates, II Malang, II Jember, II Kepanjen, II Kuta
  • Selengkapnya →
  • Pusat gempa berada di laut 127 km tenggara Kabupaten Malang
  • Dirasakan (Skala MMI): III Karangkates, II Malang, II Jember, II Kepanjen, II Kuta
  • Selengkapnya →

Siaran Pers

Punya Banyak Manfaat, BMKG Berbagi Praktik Baik Teknologi Modifikasi Cuaca dengan TunisiaBali (20 Mei 2024) - Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menyebut bahwa Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) memberikan dampak positif di tengah laju perubahan iklim. Hal tersebut disampaikan Dwikorita pada saat pertemuan Bilateral dengan Menteri Agrikultur, Sumber Daya Hidraulik, dan Perikanan Tunisia Abdelmonaam Belaati. "Seiring intensitas cuaca ekstrem yang tinggi memang negara kita (Indonesia-red) banyak menderita akibat bencana yang diakibatkannya dan itulah mengapa TMC menjadi salah satu pendekatan mitigasi yang bisa dilakukan pada saat kita terancam," kata Dwikorita di Posko TMC Bandara Internasional Ngurah Rai, Bali, Minggu (19/5). Dwikorita menjelaskan bahwa TMC dapat dilakukan untuk memitigasi bencana seperti cuaca ekstrem yang disebabkan oleh perubahan iklim. Misalnya, Indonesia pernah mengalami cuaca esktrem yang disebabkan oleh fenomena El Nino pada 2015, 2016, dan 2019 di mana banyak wilayah yang mengalami kekeringan dan kebakaran hutan. Akibat kejadian tersebut, kata dia, banyak kerugian yang disebabkan dan membuat masyarakat menderita. Oleh karenanya, berdasarkan hasil analisis BMKG pada saat El Ni�o tahun 2023, BMKG telah belajar banyak dan memanfaatkan TMC sebagai bentuk mitigasi terhadap dampak bencana yang dihasilkan. Diterangkan Dwikorita, pada saat El Nino, sering kali terjadi penurunan air tanah sehingga menciptakan lahan yang sangat kering dan sangat sensitif terhadap kebakaran hutan. Secara alami, jika dahan pohon saling bergesekan, maka kebakaran pun bisa terjadi. "Nah, TMC bisa digunakan untuk mengantisipasi kebakaran tersebut dengan menyemai awan-awan di wilayah yang rentan mengalami kebakaran hutan dan lahan. Data yang dimiliki BMKG, Terdapat sekitar 90 atau 80% pengurangan kebakaran hutan," ujarnya. Sementara itu, Pelaksana Tugas (Plt.) Deputi Bidang Modifikasi Cuaca BMKG Tri Handoko Seto menyampaikan bahwa BMKG telah melakukan cloud sheeding selama lima hari untuk menangani bencana hidrometeorologi banjir bandang dan banjir lahar hujan di Sumatra Barat. Sebanyak 15 ton garam disemai di wilayah Sumatra Barat untuk menahan intensitas hujan yang cukup tinggi dan berpotensi membawa material vulkanik sisa letusan Gunung Marapi. TMC dilakukan dengan tujuan untuk mengurangi intensitas hujan di lereng Gunung Marapi dan memudahkan pencarian korban hilang. Seto menegaskan bahwa TMC sangat penting untuk menyelamatkan hidup manusia, menjamin kemakmuran, dan kesejahteraan manusia karena membantu produksi pertanian di daerah kering. Oleh karenanya usaha ini harus terus dilakukan secara kolektif. Sementara itu, Menteri Agrikultur, Sumber Daya Hidraulik, dan Perikanan Tunisia Abdelmonaam Belaati mengampresiasi kemampuan BMKG dalam melakukan TMC. Menurutnya, TMC merupakan pekerjaan yang sangat baik demi menjaga keberlangsungan hidup manusia. Abdelmonaam bercerita, Tunisia mencatat kekeringan selama 5-7 tahun yang menyebabkan pasokan air berkurang. Dan oleh karenanya, dengan kunjungan ke Indonesia, Tunisia ingin mencari solusi bagaimana TMC bisa dilakukan dengan efektif. Saat ini untuk menanggulangi persoalan tersebut Tunisia sedang melakukan desalinasi air laut atau proses menghilangkan kadar garam dari air sehingga dapat dikonsumsi oleh makhluk hidup. Juga sedang mencoba memikirkan bagaimana bisa menggunakan air bekas dan air olahan. "Dan solusi lainnya adalah bagaimana bisa melakukan modifikasi cuaca. Bagaimana kita bisa mendatangkan hujan ke suatu negara. Itu sangat penting dan itulah sebabnya kami ada di sini hari ini dan berharap dapat terus bekerja sama," pungkasnya. (*) Biro Hukum dan Organisasi Bagian Hubungan Masyarakat Instagram : @infoBMKG Twitter : @infoBMKG @InfoHumasBMKG Facebook : InfoBMKG Youtube : infoBMKG Tiktok : infoBMKG

  • 20 Mei 2024