Mitigasi Bencana Multi Hazard di Kawasan, BMKG Gagas Pembentukan Pusat Koordinasi antar Negara-Negara ASEAN

  • Rozar Putratama
  • 12 Mei 2023
Mitigasi Bencana Multi Hazard di Kawasan, BMKG Gagas Pembentukan Pusat Koordinasi antar Negara-Negara ASEAN

SIARAN PERS

LABUAN BAJO (11 Mei 2023) - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menggagas pembentukan Pusat Koordinasi Multi Bahaya di Kawasan Asia Tenggara. Gagasan yang dikemukakan BMKG dalam pertemuan "AEIC Strategic Meeting Forum" secara daring disela-sela agenda KTT ASEAN ke-42 ini, merupakan respon terhadap semakin kompleksnya fenomena multi-hazard yang juga berpotensi terjadi di kawasan ASEAN.

Dalam pertemuan tersebut, dihadiri Perwakilan Malaysia, Timor Leste, Myanmar, dan Philipina, serta Kementrian Luar Negeri, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Ikatan Ahli Kebencanaan Indonesia (IABI), IOTIC-UNESCO, pakar kebencanaan dari Institute Teknologi Bandung, Universitas Indonesia dan Universitas Gadjah Mada (UGM). Strategic meeting tersebut diharapkan dapat menghasilkan rekomendasi yang dapat disampaikan pada pertemuan level Pimpinan KTT ASEAN.

"Tidak hanya Indonesia, semua negara di kawasan Asia Tenggara juga menghadapi situasi yang sama dimana bencana yang menghantam terjadi begitu banyak dan dalam waktu bersamaan. Frekuensi kejadiannya pun semakin sering dengan intensitas meningkat dan durasinya makin lama," ungkap Dwikorita di Labuan Bajo, Kamis (11/5/2023).

Dwikorita menyebut, BMKG selaku institusi yang mengoperasikan ASEAN Earthquake Information Center (AEIC) memandang perlunya memformulasikan rencana strategis di kawasan untuk mengantisipasi berbagai ancaman bencana tersebut. Kesamaan kompleksitas latar belakang tataan tektonik dan lokasi geografik di kawasan ASEAN, lanjut dia, sangat mungkin menjadikan seluruh wilayah negara ASEAN memiliki potensi multi-hazard dimana kejadian bencana geologi bersamaan dengan kejadian bencana hidrometeorologi, atau yang dikenal sebagai bencana Geo-Hidrometeorologi.

"Isu ini harus mendapat perhatian semua kepala negara ASEAN, karena dari pengalaman yang sudah-sudah, kejadian gempabumi dan tsunami yang komplek dan menimbulkan banyak korban jiwa, justru terjadi pada saat sistem peringatan dini bahkan Standar Operasional Prosedur (SOP) belum disiapkan, akibatnya kita tidak dapat meminimalisir dampak dari bencana tersebut," tuturnya.

Dwikorita menegaskan, pembentukan entitas koordinasi terkait multi-hazard kawasan ASEAN sangat mendesak untuk dilakukan, beserta konsep dan strateginya, karena tidak ada yang dapat mengetahui, kapan bencana tersebut terjadi. Entitas ini, tambah dia, merupakan bantuk mitigasi bersama negara-negara di Kawasan Asia Tenggara yang memiliki banyak kesamaan.

"Gempa yang terjadi di Turki beberapa waktu lalu menjadi peringatan buat semua negara-negara yang rawan bahwa bencana seperti itu bisa terjadi kapan saja dengan dampak yang lebih buruk jika tidak segera dilakukan upaya mitigasi secara komprehensif," ujarnya.

Sementara itu, Pakar ITB sekaligus juga Ketua Ikatan Ahli Bencana Indonesia, Harkunti mengatakan bahwa negara-negara ASEAN melalui AEIC diharapkan dapat mengimplementasikan dua tujuan dari UN DECADE OCEAN SCIENCE, yaitu dimana pada Tahun 2030, 100% komunitas yang berada di wilayah berisiko tsunami harus memiliki kapasitas kesiapsiagaan dan resiliensi terhadap tsunami sekaligus memastikan peringatan dini yang "actionable" sehingga respon dini juga dapat segera dilakukan.

"Jadi, baik Early Warning dan Early Action dapat diimplentasikan dengan baik " tuturnya.

Dalam kesempatan yang sama, perwakilan Filipina Ishmael Narag mengatakan, bahwa seluruh member AEIC harus bekerja sama dan berkolaborasi untuk menghadapi tantangan bumi kekinian. Tidak hanya terkait pada penguatan sistem pendukung monitorin AEIC, tetapi juga kerjasama saintifik, melakukan riset bersama, agar penguatan kapasitas keilmuan dari negara-negara anggota AEIC akan semakin meningkat.

Sementara itu, Kementerian Luar Negeri Indonesia menyambut baik gagasan yang dikemukakan BMKG tersebut dan akan mengupayakan untuk mengangkat isu tersebut di KTT ASEAN Ke-42.

"Pada prinsipnya Kementerian Luar Negeri mendukung untuk mengangkat isu ini pada KTT ASEAN periode berikutnya, oleh karenanya prosedur yang harus dilakukan untuk pengusulan pada level ASEAN, dapat dilakukan bersamaan paralel dengan penyiapan-penyiapan teknis, termasuk diskusi koordinasi secara "informal"," ujar perwakilan Kementerian Luar Negeri.

Pertemuan ditutup dengan penyampaian rekomendasi oleh Profesor Jan Sopaheluwakan, Pakar dari Universitas Indonesia yang turut membidani lahirnya InaTEWS, terkait upaya yang harus dilakukan ke depan, yaitu peningkatan kapasitas di level regional, transformasi peringatan dini yang lebih humanis, pengembangan Tsunami Early Warning System menjadi Multi-Hazard Early Warning System, di level ASEAN, dan peningkatan kerjasama untuk dapat mencapai 100% Tsunami Ready Community. (***)

Biro Hukum dan Organisasi
Bagian Hubungan Masyarakat

Instagram : @infoBMKG
Twitter : @infoBMKG @InfoHumasBMKG
Facebook : InfoBMKG
Youtube.com : infoBMKG
Tiktok : infoBMKG

Gempabumi Terkini

  • 20 Mei 2024, 20:42:24 WIB
  • 4.6
  • 22 km
  • 7.69 LS - 106.42 BT
  • Pusat gempa berada di laut 79 km BaratDaya Kabupaten Sukabumi
  • Dirasakan (Skala MMI): III Sindangbarang, III Nagrak, III Cibinong, III Cipamingkis, III Surade, III Jampang, II - III Cigaru, II-III Simpenan, II - III Kabupaten Sukabumi
  • Selengkapnya →
  • Pusat gempa berada di laut 79 km BaratDaya Kabupaten Sukabumi
  • Dirasakan (Skala MMI): III Sindangbarang, III Nagrak, III Cibinong, III Cipamingkis, III Surade, III Jampang, II - III Cigaru, II-III Simpenan, II - III Kabupaten Sukabumi
  • Selengkapnya →

Siaran Pers

Punya Banyak Manfaat, BMKG Berbagi Praktik Baik Teknologi Modifikasi Cuaca dengan TunisiaBali (20 Mei 2024) - Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menyebut bahwa Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) memberikan dampak positif di tengah laju perubahan iklim. Hal tersebut disampaikan Dwikorita pada saat pertemuan Bilateral dengan Menteri Agrikultur, Sumber Daya Hidraulik, dan Perikanan Tunisia Abdelmonaam Belaati. "Seiring intensitas cuaca ekstrem yang tinggi memang negara kita (Indonesia-red) banyak menderita akibat bencana yang diakibatkannya dan itulah mengapa TMC menjadi salah satu pendekatan mitigasi yang bisa dilakukan pada saat kita terancam," kata Dwikorita di Posko TMC Bandara Internasional Ngurah Rai, Bali, Minggu (19/5). Dwikorita menjelaskan bahwa TMC dapat dilakukan untuk memitigasi bencana seperti cuaca ekstrem yang disebabkan oleh perubahan iklim. Misalnya, Indonesia pernah mengalami cuaca esktrem yang disebabkan oleh fenomena El Nino pada 2015, 2016, dan 2019 di mana banyak wilayah yang mengalami kekeringan dan kebakaran hutan. Akibat kejadian tersebut, kata dia, banyak kerugian yang disebabkan dan membuat masyarakat menderita. Oleh karenanya, berdasarkan hasil analisis BMKG pada saat El Ni�o tahun 2023, BMKG telah belajar banyak dan memanfaatkan TMC sebagai bentuk mitigasi terhadap dampak bencana yang dihasilkan. Diterangkan Dwikorita, pada saat El Nino, sering kali terjadi penurunan air tanah sehingga menciptakan lahan yang sangat kering dan sangat sensitif terhadap kebakaran hutan. Secara alami, jika dahan pohon saling bergesekan, maka kebakaran pun bisa terjadi. "Nah, TMC bisa digunakan untuk mengantisipasi kebakaran tersebut dengan menyemai awan-awan di wilayah yang rentan mengalami kebakaran hutan dan lahan. Data yang dimiliki BMKG, Terdapat sekitar 90 atau 80% pengurangan kebakaran hutan," ujarnya. Sementara itu, Pelaksana Tugas (Plt.) Deputi Bidang Modifikasi Cuaca BMKG Tri Handoko Seto menyampaikan bahwa BMKG telah melakukan cloud sheeding selama lima hari untuk menangani bencana hidrometeorologi banjir bandang dan banjir lahar hujan di Sumatra Barat. Sebanyak 15 ton garam disemai di wilayah Sumatra Barat untuk menahan intensitas hujan yang cukup tinggi dan berpotensi membawa material vulkanik sisa letusan Gunung Marapi. TMC dilakukan dengan tujuan untuk mengurangi intensitas hujan di lereng Gunung Marapi dan memudahkan pencarian korban hilang. Seto menegaskan bahwa TMC sangat penting untuk menyelamatkan hidup manusia, menjamin kemakmuran, dan kesejahteraan manusia karena membantu produksi pertanian di daerah kering. Oleh karenanya usaha ini harus terus dilakukan secara kolektif. Sementara itu, Menteri Agrikultur, Sumber Daya Hidraulik, dan Perikanan Tunisia Abdelmonaam Belaati mengampresiasi kemampuan BMKG dalam melakukan TMC. Menurutnya, TMC merupakan pekerjaan yang sangat baik demi menjaga keberlangsungan hidup manusia. Abdelmonaam bercerita, Tunisia mencatat kekeringan selama 5-7 tahun yang menyebabkan pasokan air berkurang. Dan oleh karenanya, dengan kunjungan ke Indonesia, Tunisia ingin mencari solusi bagaimana TMC bisa dilakukan dengan efektif. Saat ini untuk menanggulangi persoalan tersebut Tunisia sedang melakukan desalinasi air laut atau proses menghilangkan kadar garam dari air sehingga dapat dikonsumsi oleh makhluk hidup. Juga sedang mencoba memikirkan bagaimana bisa menggunakan air bekas dan air olahan. "Dan solusi lainnya adalah bagaimana bisa melakukan modifikasi cuaca. Bagaimana kita bisa mendatangkan hujan ke suatu negara. Itu sangat penting dan itulah sebabnya kami ada di sini hari ini dan berharap dapat terus bekerja sama," pungkasnya. (*) Biro Hukum dan Organisasi Bagian Hubungan Masyarakat Instagram : @infoBMKG Twitter : @infoBMKG @InfoHumasBMKG Facebook : InfoBMKG Youtube : infoBMKG Tiktok : infoBMKG

  • 20 Mei 2024