Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim, BMKG dan Bappenas Susun Rencana Aksi Nasional

  • Rozar Putratama
  • 20 Nov 2021
Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim, BMKG dan Bappenas Susun Rencana Aksi Nasional

JAKARTA (16 November 2021) - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) tengah menyusun Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim (RAN-API) bersama Kementerian PPN/Bappenas.

Rencana aksi tersebut sebagai respon terhadap situasi iklim global yang dinilai terus mengalami penurunan kualitas. Berdasarkan data Intergovernmental Panel on Climate Change" atau IPCC menunjukkan bahwa suhu bumi saat ini telah mencapai level yang belum pernah terjadi sebelumnya setidaknya dalam 2000 tahun terakhir.

Suhu bumi juga diperkirakan akan mencapai atau melampaui batas 1.5C di atas level pra-industri, antara tahun 2021 dan 2040. Di bawah skenario emisi tinggi, ambang batas 1.5C ini akan dicapai dalam waktu yang lebih singkat lagi.

Adapun rencana aksi tersebut mengacu pada kerangka CORDEX-SEA yang juga telah menjadi acuan bagi rencana aksi Nasional. CORDEX singkatan dari Coordinated Regional Climate Downscaling Experiment merupakan kegiatan di bawah Program Penelitian Iklim Dunia (WCRP) dari Organisasi Meteorologi Dunia (WMO). BMKG telah bekerjasama dengan CORDEX Southeast Asia (CORDEX-SEA) untuk melakukan penelitian, pelatihan dan workshop terkait data proyeksi iklim.

Untuk mendukung rencana aksi nasional dan rencana aksi regional adaptasi perubahan iklim dan tujuan sektoral lainnya, diperlukan kerjasama yang solid dengan anggota CORDEX SEA untuk menurunkan skala data iklim masa depan dari skala regional menjadi data proyeksi iklim resolusi tinggi.

Dampak perubahan iklim sudah terjadi, terutama peningkatan cuaca ekstrim dan kejadian iklim ekstrim, kenaikan suhu udara, berkurangnya tutupan salju di puncak Jayawijaya dan naiknya permukaan air laut. Bagi Indonesia yang merupakan negara kepulauan yang terdiri dari banyak pulau-pulau kecil, dan memiliki curah hujan tahunan yang tinggi menyebabkan Indonesia sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Kondisi ini membutuhkan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim untuk mengurangi dampak bencana hidrometeorologi dan menurunkan emisi gas rumah kaca. Indonesia berkomitmen dan bekerja keras untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen menjadi 41 persen dari skenario business-as-usual pada tahun 2030. Dalam ketidakpastian kondisi iklim ke depan yang perlu disediakan data proyeksi iklim dan diturunkan dari resolusi global menjadi resolusi tinggi -data resolusi dengan beberapa skenario proyeksi iklim, sehingga dapat menentukan strategi dan perencanaan yang tepat di masa mendatang.

Pada tahun 2018 Tahap pertama CORDEX-SEA telah selesai, BMKG telah bekerja sama dengan anggota CORDEX-SEA untuk melakukan downscale data proyeksi iklim hingga resolusi 25 km untuk kawasan Asia Tenggara. Fase kedua proyaktivitas CORDEX-SEA akan mengkaji peristiwa iklim ekstrem di area-area utama di Asia Tenggara melalui keterlibatan aktif dan kolaborasi dengan pemangku kepentingan. Pengurangan lebih lanjut atas wilayah-wilayah rentan utama ini akan dilakukan dengan menggunakan multi-model dan multi-skenario menggunakan masukan dari data yang dihasilkan dari fase pertama proyek, untuk menghasilkan data proyeksi iklim resolusi tinggi (3 - 5 km). Selain itu, BMKG telah mengadakan pelatihan dan lokakarya tentang CORDEX SEA sejak tahun 2015. Pelatihan ini bertujuan untuk membangun kapasitas daerah untuk membuat simulasi iklim regional multi-model dengan resolusi 25 km x 25 km dan membangun kemitraan dan koneksi baru antara para ilmuwan. Dalam sesi workshop juga ada tema khusus, yaitu pemanfaatan data proyeksi perubahan iklim resolusi tinggi untuk kepentingan sektoral.

Workshop tahun ini diselenggarakan secara online oleh BMKG dari tanggal 15-17 November, bekerjasama dengan Ramkhamhaeng University Center of Regional Climate Change and Renewable Energy (RU-CORE), Bangkok, Thailand dan Department of Earth Sciences and Environment The National University of Malaysia dan CORDEX-SEA. Workshop ini memiliki beberapa tujuan, di antaranya adalah mensosialisasikan kegiatan CORDEX dalam memajukan ilmu pengetahuan dan penerapan downscaling iklim regional khususnya di Asia Tenggara.

Kemudian, mempererat kegiatan dan kemajuan CORDEX-SEA dalam memajukan ilmu pengetahuan dan penerapan downscaling iklim regional di Asia Tenggara melalui kemitraan regional.

Selain itu juga untuk berbagi informasi tentang beberapa hasil publikasi yang telah dilakukan di beberapa negara di Asia Tenggara yang menggunakan data CORDEX-SEA untuk menghasilkan informasi iklim dalam menangani isu-isu terkait perubahan iklim di kawasan dan berbagi informasi tentang aplikasi potensial data CORDEX-SEA resolusi tinggi.

Pada workshop tersebut, hadir ahli perubahan iklim dari berbagai negara seperti Prof. Fredolin Tangang dari National University of Malaysia yang juga Coordinator CORDEX-SEA, Assoc.Prof. Dr. Jerasorn Santisirisomboon sebagai Project Leader SEACLID/CORDEX SEA Phase 2 dari Ramkhamhaeng University Thailand, Dr Irene Lake dan Dr Nikulin Gregory dari Swedia, Yoichi Toyama dari Jepang, Dr Sanjay Jayanarayanan dari India, Dr John McGregor dari Australia, dan beberapa peneliti dari Malaysia, Thailand, Vietnam, Filipina dan tuan rumah Indonesia.

Dalam sambutan pembukaan, Prof. Dwikorita menyampaikan bahwa hasil kajian BMKG menunjukkan bahwa di Indonesia dampak pemanasan global telah nyata terjadi ditunjukkan dengan semakin menyusutnya es yang baerada di puncak Jaya Wijaya.

Kepala BMKG juga menyampaikan kontribusi BMKG dalam pemantauan Gas Rumah Kaca sejak 2004 melalui Stasiun Pemantau Atmosfer ( Global Atmospheric Watch ) di Kototabang Sumatra Barat. Selain itu ditunjukan juga contoh praktik terbaik ( best practices ) pemanfaatan ilmu iklim untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui Sekolah Lapang Iklim.

Sementara itu, pada kesempatan yang sama, Prof. F. Tangang menjelaskan mengenai progress phase 2, downscale dari medium resolusi menjadi data proyeksi iklim resolusi tinggi (5 km), dengan domain adalah wilayah-wilayah yang rentan terhadap perubahan iklim di Asia Tenggara dengan menggunakan multi-model dan multi-skenario. Dataset yang baru dibuat ini akan diarsipkan sebagai bagian dari Earth System Grid Federation (ESGF).

Lebih lanjut, Ketua Proyek CORDEX-SEA fase 2, Dr.Jerasorn menegaskan pembentukan SEACLID/CORDEX pada tahun 2012 oleh Malaysia, Indonesia, Vietnam, Filipina, dan Thailand dengan tujuan utamanya adalah menciptakan platform bagi para ilmuwan di dalam dan di luar kawasan Asia Tenggara untuk berkolaborasi dalam isu-isu yang terkait dengan downscaling skala iklim regional. Sementara untuk tujuan workshop SEACLID/CORDEX-SEA fase 2 ini adalah menyediakan multi model skenario proyeksi perubahan iklim resolusi tinggi (5 km x 5 km) dan proyeksi iklim ekstrem untuk wilayah rentan di kawasan Asia Tenggara dan menjalin kolaborasi yang lebih kuat dengan pemangku kepentingan serta memberikan panduan tentang penggunaan informasi iklim yang dihasilkan kegiatan ini.

Ada pula pembicara, Direktur CORDEX IPOC Swedia Dr.Irene Lake, menambahkan bahwa CORDEX adalah bagian dari WCRP khususnya dalam menjembatani ilmu iklim dan masyarakat. Tantangannya adalah bagaimana informasi iklim regional tersebut sampai dan dimanfaatkan oleh masyarakat dengan lebih baik lagi.

Biro Hukum dan Organisasi
Bagian Hubungan Masyarakat

Instagram : @infoBMKG
Twitter : @infoBMKG @InfoHumasBMKG
Facebook : InfoBMKG
Youtube : infoBMKG
Tiktok : @infoBMKG

Gempabumi Terkini

  • 20 Mei 2024, 20:42:24 WIB
  • 4.6
  • 22 km
  • 7.69 LS - 106.42 BT
  • Pusat gempa berada di laut 79 km BaratDaya Kabupaten Sukabumi
  • Dirasakan (Skala MMI): III Sindangbarang, III Nagrak, III Cibinong, III Cipamingkis, III Surade, III Jampang, II - III Cigaru, II-III Simpenan, II - III Kabupaten Sukabumi
  • Selengkapnya →
  • Pusat gempa berada di laut 79 km BaratDaya Kabupaten Sukabumi
  • Dirasakan (Skala MMI): III Sindangbarang, III Nagrak, III Cibinong, III Cipamingkis, III Surade, III Jampang, II - III Cigaru, II-III Simpenan, II - III Kabupaten Sukabumi
  • Selengkapnya →

Siaran Pers

Punya Banyak Manfaat, BMKG Berbagi Praktik Baik Teknologi Modifikasi Cuaca dengan TunisiaBali (20 Mei 2024) - Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menyebut bahwa Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) memberikan dampak positif di tengah laju perubahan iklim. Hal tersebut disampaikan Dwikorita pada saat pertemuan Bilateral dengan Menteri Agrikultur, Sumber Daya Hidraulik, dan Perikanan Tunisia Abdelmonaam Belaati. "Seiring intensitas cuaca ekstrem yang tinggi memang negara kita (Indonesia-red) banyak menderita akibat bencana yang diakibatkannya dan itulah mengapa TMC menjadi salah satu pendekatan mitigasi yang bisa dilakukan pada saat kita terancam," kata Dwikorita di Posko TMC Bandara Internasional Ngurah Rai, Bali, Minggu (19/5). Dwikorita menjelaskan bahwa TMC dapat dilakukan untuk memitigasi bencana seperti cuaca ekstrem yang disebabkan oleh perubahan iklim. Misalnya, Indonesia pernah mengalami cuaca esktrem yang disebabkan oleh fenomena El Nino pada 2015, 2016, dan 2019 di mana banyak wilayah yang mengalami kekeringan dan kebakaran hutan. Akibat kejadian tersebut, kata dia, banyak kerugian yang disebabkan dan membuat masyarakat menderita. Oleh karenanya, berdasarkan hasil analisis BMKG pada saat El Ni�o tahun 2023, BMKG telah belajar banyak dan memanfaatkan TMC sebagai bentuk mitigasi terhadap dampak bencana yang dihasilkan. Diterangkan Dwikorita, pada saat El Nino, sering kali terjadi penurunan air tanah sehingga menciptakan lahan yang sangat kering dan sangat sensitif terhadap kebakaran hutan. Secara alami, jika dahan pohon saling bergesekan, maka kebakaran pun bisa terjadi. "Nah, TMC bisa digunakan untuk mengantisipasi kebakaran tersebut dengan menyemai awan-awan di wilayah yang rentan mengalami kebakaran hutan dan lahan. Data yang dimiliki BMKG, Terdapat sekitar 90 atau 80% pengurangan kebakaran hutan," ujarnya. Sementara itu, Pelaksana Tugas (Plt.) Deputi Bidang Modifikasi Cuaca BMKG Tri Handoko Seto menyampaikan bahwa BMKG telah melakukan cloud sheeding selama lima hari untuk menangani bencana hidrometeorologi banjir bandang dan banjir lahar hujan di Sumatra Barat. Sebanyak 15 ton garam disemai di wilayah Sumatra Barat untuk menahan intensitas hujan yang cukup tinggi dan berpotensi membawa material vulkanik sisa letusan Gunung Marapi. TMC dilakukan dengan tujuan untuk mengurangi intensitas hujan di lereng Gunung Marapi dan memudahkan pencarian korban hilang. Seto menegaskan bahwa TMC sangat penting untuk menyelamatkan hidup manusia, menjamin kemakmuran, dan kesejahteraan manusia karena membantu produksi pertanian di daerah kering. Oleh karenanya usaha ini harus terus dilakukan secara kolektif. Sementara itu, Menteri Agrikultur, Sumber Daya Hidraulik, dan Perikanan Tunisia Abdelmonaam Belaati mengampresiasi kemampuan BMKG dalam melakukan TMC. Menurutnya, TMC merupakan pekerjaan yang sangat baik demi menjaga keberlangsungan hidup manusia. Abdelmonaam bercerita, Tunisia mencatat kekeringan selama 5-7 tahun yang menyebabkan pasokan air berkurang. Dan oleh karenanya, dengan kunjungan ke Indonesia, Tunisia ingin mencari solusi bagaimana TMC bisa dilakukan dengan efektif. Saat ini untuk menanggulangi persoalan tersebut Tunisia sedang melakukan desalinasi air laut atau proses menghilangkan kadar garam dari air sehingga dapat dikonsumsi oleh makhluk hidup. Juga sedang mencoba memikirkan bagaimana bisa menggunakan air bekas dan air olahan. "Dan solusi lainnya adalah bagaimana bisa melakukan modifikasi cuaca. Bagaimana kita bisa mendatangkan hujan ke suatu negara. Itu sangat penting dan itulah sebabnya kami ada di sini hari ini dan berharap dapat terus bekerja sama," pungkasnya. (*) Biro Hukum dan Organisasi Bagian Hubungan Masyarakat Instagram : @infoBMKG Twitter : @infoBMKG @InfoHumasBMKG Facebook : InfoBMKG Youtube : infoBMKG Tiktok : infoBMKG

  • 20 Mei 2024